Jumat, 29 Juli 2011

Memandang Kehidupan Dari Sudut Pandang Allah

Memandang Kehidupan Dari Sudut Pandang Allah


1.      Pendahuluan
Cara saudara memandang kehidupan akan membentuk kehidupan saudara.
Bagaimana saudara mendefinisikan kehidupan menentukan masa depan saudara. Perspektif saudara akan mempengaruhi cara saudara memanfaatkan waktu saudara, membelanjakan uang saudara, menggunakan talenta saudara, dan menilai hubungan saudara.
Salah satu cara terbaik untuk memahami orang lain adalah menanyakan mereka, “bagaimana saudara memandang kehidupan saudara?” Saudara akan menemukan bahwa ada banyak jawaban yang berbeda untuk pertanyaan tersebut sebanyak jumlah orang yang ditanyai.  Saya pernah diberi tahu bahwa kehidupan adalah bagaikan sebuah sirkus, sebuah daerah ranjau,  sebuah roller coaster, sebuah teka-teki,  sebuah simfoni, sebuah perjalanan, dan sebuah tarian. Orang-orang berkata, “ kehidupan bagaikan roda: kadang-kadang saudara di atas, kadang saudara di bawah, dan kadang saudara hanya berputar-putar” atau “kehidupan bagaikan sepeda dengan kecepatan 10 dengan persneling yang tidak pernah kita pakai” atau “kehidupan bagaikan permainan kartu: saudara harus memainkan kartu yang dibagikan kepada saudara”.
Jika saya bertanya bagaimana saudara menggambarkan kehidupan, gambar apa yang muncul di benak saudara. Gambar tersebut adalah metafora kehidupan saudara. Itulah pandangan tentang kehidupan yang saudara pegang secara sadar atau tidak sadar, dalam pikiran saudara. Itulah gambaran saudara tentang bagaimana kehidupan berjalan dan apa yang saudara harapkan dari kehidupan itu. Orang-orang sering kali menunjukkan metafora kehidupan mereka melalui pakaian, perhiasan, mobil, potongan rambut, tempelan stiker di bemper, bahkan tato.
Metafora kehidupan saudara yang tidak diucapkan mempengaruhi kehidupan saudara lebih dari yang saudara sadari. Ini menentukan harapan-harapan saudara, nilai-nilai saudara, hubungan-hubungan saudara, sasaran-sasaran saudara, dan prioritas-prioritas saudara. Contohnya, jika saudara menganggap kehidupan adalah sebuah pesta, nilai utama saudara di dalam kehidupan adalah bersenang-senang. Jika saudara melihat kehidupan sebagai suatu balapan, saudara akan menghargai kecepatan dan mungkin akan sering kali berada dalam ketergesa-gesaan. Jika saudara memandang kehidupan sebagai suatu pertandingan lari maraton, saudara akan menghargai ketekunan. Jika saudara memandang kehidupan sebagai sebuah pertempuran atau permainan, menang akan menjadi sangat penting bagi saudara.
Bagaimana pandangan saudara tentang kehidupan? Saudara mungkin mendasarkan kehidupan saudara pada suatu metafora kehidupan yang keliru. Untuk memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan saudara, saudara akan harus menantang pandangan umum dan menggantikannya dengan metafora Alkitab tentang kehidupan. Alkitab berkata. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2)

2.      Metafora Kehidupan Menurut Alkitab
Alkitab memberikan tiga metafora yang mengajarkan kepada kita pandangan Allah tentang kehidupan: kehidupan adalah sebuah ujian, kehidupan adalah sebuah kepercayaan, dan kehidupan adalah sebuah penugasan sementara. Pemikiran-pemikiran ini merupakan dasar dari kehidupan yang memiliki tujuan.

a.       Kehidupan di Bumi adalah sebuah Ujian
Metafora kehidupan yang ini terlihat dalam kisah-kisah di seluruh Alkitab. Allah terus-menerus menguji karakter, iman, ketaatan, kasih, integritas, dan kesetiaan manusia. Kata-kata seperti pencobaan, pemurnian, dan ujian muncul lebih dari 200 kali dalam Alkitab. Allah menguji Abraham dengan menyuruhnya mempersembahkan anaknya Ishak. Allah menguji Yakub ketika dia harus bekerja beberapa tahun tambahan untuk mendapatkan Rahel sebagai isterinya.
Adam dan Hawa gagal dalam ujian mereka di Taman Eden, dan Daud gagal dalam ujiannya yang diberi Allah pada beberapa peristiwa. Tetapi Alkitab juga memberi kita banyak teladan dari orang-orang yang lulus dalam ujian besar, seperti Yusuf, Rut, Ested dan Daniel.
Karakter dikembangkan dan ditunjukkan melalui ujian-ujian, dan seluruh kehidupan adalah ujian. Saudara selalu diuji. Allah terus-menerus mengamati tanggapan saudara pada orang-orang, pada masalah, pada kebersihan, pada konflik, pada penyakit, pada kekecewaan, dan bahkan pada cuaca! Allah bahkan mengamati tindakan-tindakan yang paling sederhana seperti ketika saudara membuka pintu untuk orang lain, ketika saudara mengangkat sepotong sampah, atau ketika saudara bersikap sopan terhadap seorang juru tulis atau pelayan.
Kita tidak tahu semua ujian yang akan Allah berikan kepada anda, tetapi kita bisa memperkirakan sebagian berdasarkan Alkitab. Anda akan diuji melalui perubahan-perubahan besar, janji-janji yang tertunda, masalah-masalah yang sulit, doa-doa yang tidak terjawab, kritikan-kritikan yang tidak layak diterima, dan bahkan tragedi-tragedi yang tidak masuk akal. Dalam kehidupan saya sendiri saya melihat bahwa Allah menguji iman saya melalui masalah-masalah, doa-doa yang belum dijawab oleh Tuhan, menguji pengharapan saya melalui cara saya menangani harta, dan menguji kasih saya melalui orang-orang.
Ujian yang sangat penting adalah bagaimana saudara bertindak ketika saudara tidak bisa merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan saudara. Kadang-kadang Allah dengan sengaja mundur, dan kita tidak merasakan kedekatan-Nya. Seorang raja bernama Hizkia mengalami ujian ini. Alkitab berkata, “Allah meninggalkan dia untuk mencobainya, supaya diketahui segala isi hatinya” (2 Tawarikh 32:31). Hizkia telah menikmati suatu persekutuan yang dekat dengan Allah, tetapi pada titik penting dalam kehidupannya Allah meninggalkannya sendiri untuk menguji karakternya, untuk menunjukkan kelemahannya, dan untuk mempersiapkan dia guna menghadapi tanggung jawab yang lebih besar.
Ketika saudara memahami bahwa kehidupan adalah ujian, saudara menyadari bahwa tidak ada hal yang tidak penting di dalam kehidupan saudara. Bahkan kejadian terkecil memiliki arti penting bagi pengembangan karakter saudara. Tiap hari merupakan hari yang penting, dan setiap detik adalah kesempatan bertumbuh untuk memperdalam karakter saudara, untuk menunjukkan kasih, atau untuk bergantung kepada Allah. Beberapa ujian terasa sangat berat, sementara ujian lainnya bahkan tidak saudara perhatikan. Tetapi semuanya memiliki makna kekal.
Kabar baiknya adalah bahwa Allah ingin agar saudara lulus dalam ujian-ujian kehidpan itu, sehingga Dia tidak pernah membiarkan ujian-ujian yang saudara hadapi itu melampaui kasih karunia yang Dia berikan kepada saudara untuk menghadapinya. Alkitab berkata, “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (I Kor 10:13). Setiap kali saudara lulus dalam sebuah ujian, Allah melihat dan membuat rencana untuk memberi saudara upah di dalam kekekalan. Yakobus berkata, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12).

b.      Kehidupan di Bumi adalah Sebuah Kepercayaan
Inilah metafora jenis kedua dalam Alkitab tentang kehidupan. Waktu yang kita miliki di bumi serta tenaga, kepandaian, kesempatan, hubungan dan kekayaan kita, semuanya adalah pemberian dari Allah yang telah Dia percayakan dalam pemeliharaan dan pengelolaan kita. Kitalah penatalayan dari segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita. Konsep penatalayanan ini dimulai dengan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu dan semua orang di muka bumi. Alkitab berkata, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam didalamnya” (Mzm 24:1).
Kita tidak pernah benar-benar memiliki apapun selama kediaman singkat kita di bumi. Allah hanya meminjamkan bumi kepada kita pada waktu kita ada di sini. Bumi adalah milik Allah sebelum saudara dan saya datang, dan Allah akan meminjamkannya kembali kepada orang lain setelah saudara dan saya meninggal. Saudara hanya bisa menikmatinya sesaat.
Ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, Dia mempercayakan pemeliharaan atas ciptaan-Nya kepada mereka dan menunjuk mereka sebagai pengelola atas milik-Nya. Alkitab berkata, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1:28).
Pekerjaan pertama yang Allah berikan kepada manusia adalah mengelola dan memelihara “barang-barang” Allah di bumi. Peran ini tidak pernah dibatalkan. Ini merupakan sebagian dari tujuan kita sekarang. Segala sesuatu yang kita nikmati harus diperlakukan sebagai sebuah kepercayaan yang Allah tempatkan di dalam tangan kita. Alkitab berkata, “Bukankah segala sesuatu saudara terima dari Allah? Jadi, mengapa kamu menyombongkan diri, seolah-olah apa yang ada pada saudara itu bukan sesuatu yang diberi?” (1 Kor 4:7b, BIS).
Rick Warren bercerita:
Bertahun-tahun yang lalu, sepasang suami-isteri mengizinkan saya dan isteri saya menggunakan rumah mereka yang indah di depan pantai di Hawai untuk berlibur. Inilah suatu pengalaman yang tidak pernah mampu kami beli, dan kami sangat menikmatinya. Kami diberi tahu, “gunakan rumah itu seperti rumahmu sendiri,” jadi kami melakukannya! Kami berenang di kolam, memakan makanan di kulkas, memakai handuk-handuk kamar mandi dan peralatan makanan, dan bahkan melompat-lompat di tempat tidur dengan kegirangan! Tetapi kami tahun sejak semula bahwa itu bukan benar-benar miliki kami, sehingga kami memberikan perawatan khusus terhadap segala sesuatu. Kami menikmati keuntungan menggunakan rumah tersebut tanpa memilikinya.
Budaya kita berkata, “jika kamu tidak memilikinya, kamu tidak akan mempedulikannya”. Tetapi orang-orang Kristen hidup dengan standar yang lebih tinggi: “Karena Allah memilikinya, saya harus memeliharanya sebaik mungkin”. Alkitab mengatakan, “Orang-orang yang kepada mereka dipercayakan sesuatu yang berharga harus menunjukkan bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor 4:2, NCV=New Century Version). Yesus sering kali menunjukkan kehidupan sebagai sebuah kepercayaan dan menceritakan banyak kisah untuk menggambarkan tanggung jawab ini kepada Allah. Dalam kisah tentang talenta (Mat 25: 14-29), seorang pengusaha mempercayakan kekayaanya kepada pemeliharaan hamba-hambanya sementara dia pergi. Ketika dia kembali, dia mengevaluasi tanggung jawab setiap hambanya dan memberi mereka upah atas itu. Sang pemilik berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu”.
Pada masa akhir kehidupan saudara di dunia, saudara akan di evaluasi dan diberi upah sesuai dengan seberapa baik saudara telah mengurus apa yang Allah percayakan kepada saudara. Ini berarti segala sesuatu yang saudara kerjakan, bahkan tugas-tugas harian yang sederhana, memiliki implikasi kekal. Jika saudara memperlakukan segala sesuatu sebagai suatu kepercayaan, Allah menjanjikan tiga berkat dalam kekekalan. Pertama, saudara akan diberikan peneguhan Allah: Dia berkata, “Baik sebali perbuatanmu”! Berikutnya, saudara akan menerima promosi dan diberi tanggung jawab yang lebih besar di dalam kekekalan: “Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar”. Kemudian saudara akan dihormati dengan suatu perayaan: “masuklah dan turutlah dalam kebagahiaan tuanmu”.
Banyak orang gagal menyadari bahwa uang merupakan sebuah ujian sekaligus sebuah kepercayaan dari Allah. Allah menggunakan keuangan untuk mengajar kita mempercayai-Nya, dan bagi banyak orang, uang adalah ujian terbesar. Allah melihat bagaimana kita menggunakan uang untuk menguji bagaimana kita layak dipercayai. Alkitab berkata, “Jadi, kalau mengenai kekayaan dunia ini kalian sudah tidak dapat dipercayai, siapa mau mempercayakan kepadamu kekayaan rohani?” (Luk 16:11, BIS).
Inilah kebenaran yang sangat penting. Allah mengajarkan bahwa ada hubungan lansung antara cara saya menggunakan uang saya dengan kualitas kehidupan rohani saya. Bagaiman saya mengelola uang saya (kekayaan dunia) menentukan seberapa banyak Allah bisa mempercayai saya dengan berkat-berkat rohani (kekayaan rohani). Izinkan saya bertanya kepada saudara: Apakah cara saudara mengelola uang saudara menghalangi Allah melakukan lebih banyak hal di dalam kehidupan saudara? Bisakah saudara dipercayai dengan kekayaan-keyaan rohani?
Yesus berkata, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (Luk 12:48b). Kehidupan merupakan ujian dan kepercayaan, dan semakin banyak Allah memberi kepada saudara, semakin banyak tanggung jawab yang Dia harapkan dari saudara.


c.       Kehidupan adalah Suatu Penugasan Sementara
Kehidupan di bumi adalah suatu penugasan sementara. Alkitab penuh dengan metafora yang mengajarkan tentang sifat kehidupan di bumi, yaitu bersifat singkat, sementara, dan fana. Kehidupan digambarkan seperti kabut, pelari cepat, nafas,  dan  segumpal asap. Alkitab berkata, sebab kita, anak-anak kemarin…… hari-hari kita seperti bayang-bayang di bumi” (Ayub 8:9).
Untuk memanfaatkan kehidupan saudara secara maksimal, saudara jangan pernah melupakan dua kebenaran: Pertama, dibandingkan dengan kekekalan, kehidupan amatlah singkat. Kedua, bumi hanyalah tempat kediaman sementara. Saudara tidak akan lama berada di sini, jadi jangan terlalu terikat pada bumi. Mintalah agar Allah membantu saudara melihat kehidupan di bumi sebagaimana Dia melihatnya. Daud berdoa, “Tuhan, tolong aku untuk menyadari betapa singkatnya hidupku di dunia ini! Tolong aku untuk mengetahui bahwa waktuku di sini hampir habis!” (Mzm 39:4 FAYH).
Berulang-ulang Alkitab membandingkan kehidupan di bumi dengan kehidupan sementara di sebuah negeri asing. Bumi bukanlah rumah tetap atau tujuan akhir saudara. Saudara hanya lewat, hanya berkunjung ke bumi. Alkitab menggunakan istilah-istilah seperti orang asing, peziarah, pendatang, pengunjung, dan musafir untuk menggambarkan kediaman kita yang singkat di bumi. Daud berkata, “Aku ini orang asing di dunia” (Mzm 119:19) dan Petrus menjelaskan, “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, … maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” (1 Pet 1:17).
Para expatriat yang datang dari berbagai negara dan bekerja di Indonesia, mereka tinggal di Indonesia, tetapi mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka semula. Mereka diwajibkan untuk membawa kartu pendaftaran pengunjung (green card/ visa), yang memungkinkan mereka bekerja di sini sekalipun mereka bukan warga negara. Orang-orang Kristen seharusnya membawa green card rohani untuk mengingatkan kita bahwa kewarganegaraan kita adalah di sorga. Allah berkata bahwa anak-anak-Nya harus berpikir tentang kehidupan secara berbeda dengan orang-orang yang tidak percaya. “Yang mereka pikirkan hanyalah kehidupan di dunia ini. Padahal tanah air kita ialah surga, yaitu bersama dengan Juruselamat kita Tuhan Yesus Kristus” (Flp 3: 19,20 FAYH). Orang-orang percaya sejati memahami bahwa kehidupan memiliki nilai jauh lebih besar daripada sekadar beberapa tahun hidup kita di planet ini.
Identitas saudara ada di dalam kekekalan, dan tanah air saudara adalah surga. Bila saudara memahami kebenaran ini, saudara akan berhenti cemas memikirkan soal “memiliki semuanya” di bumi. Allah berbicara dengan sangat jelas tentang bahayanya jika kita hidup demi waktu sekarang dan jika kita memakai nilai-nilai, prioritas-prioritas, dan gaya hidup dunia sekeliling kita. Bila kita bermain-main dengan pencobaan-pencobaan dunia ini, Allah menyebutnya perzinahan rohani. Alkitab berkata, “Kamu tidak setia kepada Allah. Jika kamu hanya mau mengikuti kehendakmu sendiri, bermain-main dengan dunia setiap ada kesempatan, maka kamu akhirnya menjadi musuh Allah dan orang yang melawan kehendaknya” (Yakobus 4:4, Msg = The Message).
Bayangkan jika saudara diminta oleh negara saudara untuk menjadi duta besar di sebuah negara musuh. Saudara mungkin harus belajar bahasa yang baru dan menyesuaikan diri dengan beberapa kebiasaan dan perbedaan budaya agar bisa berlaku sopan dan bisa menyelesaikan misi saudara. Sebagai seorang duta besar, saudara tidak akan mampu mengisolasi diri dari musuh. Untuk menyelesaikan misi saudara, saudara tentu harus memiliki kontak dan berhubungan dengan mereka.
Tetapi seandainya saudara menjadi begitu nyaman dengan negara asing ini sehingga saudara jatuh cinta padanya, dan lebih menyukainya ketimbang tanah air saudara. Kesetiaan dan komitmen saudara akan berubah. Peran saudara sebagai seorang duta besar akan membahayakan. Bukannya mewakili negara asal saudara, saudara akan mulai bertindak seperti musuh. Saudara akan menjadi pengkhianat.
Alkitab berkata, “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus (2 Kor 5:20). Yang menyedihkan, banyak orang Kristen telah mengkhianati Raja mereka dan kerajaan-Nya. Mereka dengan bodohnya menyimpulkan bahwa karena mereka hidup di bumi, maka bumilah rumah mereka. Padahal bukan. Alkitab dengan jelas berkata: “Saudara-saudaraku, dunia ini bukan rumahmu, karena itu jangan membuat dirimu betah didalamnya. Jangan menurutkan keinginanmu sendiri dengan mengorbankan nyawamu” (1 Pet 2:11  Msg). Allah memperingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada apa yang ada di sekeliling kita karena semua itu bersifat sementara. Kita diberi tahu, “Pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1 Kor 7:31).
Dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, kehidupan sekarang paling enak bagi sebagian besar masyarakat kita. Kita terus-menerus dihibur, disenangkan, dan dipuaskan. Dengan segala pertunjukan yang menawan, media yang menarik perhatian, dan pengalaman-pengalaman yang nikmat yang tersedia sekarang, mudah bagi kita untuk melupakan bahwa pengejaran kebahagiaan bukanlah tujuan kehidupan. Hanya jika kita ingat bahwa kehidupan adalah suatu ujian, suatu kepercayaan, dan suatu penugasan sementara, barulah pesona dari hal-hal tersebut kehilangan kekuasaannya atas kehidupan kita. Kita sedang bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu yang lebih baik. “Hal-hal yang kita lihat sekarang, hari ini ada, esok sudah lenyap. Tetapi hal-hal yang tidak dapat kita lihat sekarang akan ada selamanya” (2 Kor 4: 18b Msg).
Fakta bahwa bumi bukanlah rumah terakhir kita memperjelas mengapa, sebagai pengikut-pengikut Yesus, kita mengalami kesulitan, penderitaan dan penolakan di dunia ini (Yoh 16:33; 16:20; 15:18-19). Hal tersebut juga menjelaskan mengapa beberapa janji Allah tampaknya tidak digenapi, beberapa doa tampaknya tidak dijawab, dan beberapa keadaan tampaknya tidak adil. Ini bukanlah akhir kisah.
Untuk menjaga agar kita tidak menjadi terlalu terikat pada dunia, Allah membiarkan kita merasakan cukup banyak kesedihan dan ketidakpuasan di dalam kehidupan, yakni keinginan-keinginan yang tidak pernah akan terpenuhi di sisi ini dari kekekalan. Kita tidak benar-benar bahagia di sini karena seharusnya memang tidak! Bumi bukanlah rumah terakhir kita; kita diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih baik.
Seekor ikan tidak pernah bahagia hidup di daratan, karena ikan dijadikan untuk air. Seekor elang tidak pernah bisa merasa puas jika hewan itu tidak diperbolehkan terbang. Saudara tidak akan pernah merasa benar-benar puas di bumi, karena saudara dijadikan untuk sesuatu yang lebih dari itu. Saudara akan memiliki saat-saat bahagia di sini, tetapi tidak ada yang sebanding dengan apa yang Allah telah rencanakan bagi saudara.
Menyadari bahwa kehidupan di bumi hanyalah suatu penugasan sementara seharusnya mengubah nilai-nilai saudara secara radikal. Nilai-nilai kekal, dan bukan nilai-nilai sementara, yang seharusnya menjadi faktor-faktor penentu bagi keputusan-keputusan saudara. Seperti pandangan C.S. Lewis, “Segala hal yang tidak kekal tidak berguna secara kekal”. Alkitab berkata, Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18).
Mengira bahwa tujuan Allah bagi kehidupan saudara adalah kekayaan materi atau keberhasilan populer sebagaimana yang didefenisikan oleh dunia adalah salah besar.  Kesetiaan kepada Allah tidak menjamin ‘keberhasilan’ dalam karier atau bahkan dalam pelayanan Jangan pernah memusatkan perhatian pada mahkota-mahkota yang sementara (1 Pet 2:11).
Paulus setia, tetapi dia berakhir di penjara. Yohanes Pembabtis setia, tetapi dia dipenggal. Jutaan orang yang setia mati sebagai martir, kehilangan segalanya, atau mencapai ajal tanpa ada hasil apapun, misalnya Munson dan Liman, missionaris yang datang ke Lobu Pining (Tanah Batak) sebelum Nomensen. Tetapi akhir kehidupan bukanlah akhirnya!.
Bagi Allah, pahlawan-pahlawan iman yang paling besar bukanlah orang-orang yang mencapai kemakmuran, keberhasilan, dan kuasa di dalam kehidupan ini, melainkan orang-orang yang memperlakukan kehidupan ini sebagai suatu penugasan sementara dan melayani dengan setia, sambil mengharapkan upah yang dijanjikan kepada mereka di kekekalan. Alkitab mengatakan tentang Ruang Kemahsyuran Allah: “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini... Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibrani 11:13,16). Masa hidup saudara di bumi bukanlah kisah lengkap kehidupan saudara. Saudara harus menanti sampai surga baru bisa melihat sisa bab-bab itu. Dibutuhkan iman untuk hidup di bumi sebagai orang asing.
Sebuah kisah lama sering diceritakan ulang mengenai seorang misionaris yang pensiun dan pulang ke Amerika sekapal dengan presiden Amerika Serikat. Kerumunan orang yang bersorak, band militer, karpet merah, bendera-bendera, dan media menyambut pulangnya presiden mereka, tetapi sang misionaris pergi diam-diam dari kapal tersebut tanpa diperhatikan. Dengan perasaan kasihan pada diri sendiri dan marah, dia mulai mengeluh kepada Allah. Kemudian Allah dengan lembut mengingatkannya, “Tetapi anak-Ku, kau belum pulang”.
Sebelum dua detik berada di surga saudara akan berseru, “Mengapa aku begitu mementingkan hal-hal yang bersifat begitu sementara? Apa yang sedang aku pikirkan? Mengapa aku menyia-nyiakan begitu banyak waktu, tenaga dan perhatian pada apa yang tidak akan bertahan untuk selamanya?”
Ketika kehidupan menjadi sulit, ketika saudara diliputi oleh keraguan, atau ketika saudara bertanya-tanya dalam hati apakah hidup bagi Kristus layak diperjuangkan, ingatlah bahwa saudara belum pulang. Saat kematian, saudara bukan meninggalkan rumah, saudara justeru pulang.

Untuk Direnungkan:
1.      Apa yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini yang sekarang aku sadari merupakan sebuah ujian dari Allah? Apakah hal-hal terbesar yang Allah percayakan kepadaku?
2.      Bagaimana fakta bahwa kehidupan di bumi hanyalah suatu penugasan sementara bisa mengubah cara hidup saya sekarang?

Sumber:
Disadur dari
Buku       :  The Purpose Driven Life
Penulis     :  Rick Warren
Hal          :  43-58
Penerbit   :  Gandum Mas

Selasa, 12 Juli 2011

Mendidik Anak: Pendekatan Theologi Kontekstual

MENDIDIK ANAK
 
 
Tidak peduli seberapa menyenangkan kita membuat hal itu agar anak mentaati kita, akan ada waktu dimana mereka melanggar batas dan menjalani keinginan mereka. Kemudian apa yang harus kita lakukan? Sekali lagi kita melakukan hal yang sama seperti Tuhan lakukan. Kita membawa mereka kembali kejalan yang benar. “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Heb. 12:5-6, NASB).
Kita sudah mempelajari kata “disiplin” sebelumnya. Kata itu juga digunakan dalam Ephesians 6:4 yang berarti mendidik, atau membimbing anak kearah tujuan, dan koreksi, atau membawa mereka kembali saat tersesat. Koreksi dari Tuhan merupakan maksud penulis Ibrani dimana Tuhan memukul anak yang dikasihinya. Itu tidak terdengar menyenangkan bukan? Lebih jauh dikonteks yang sama kita membaca, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita” (Heb. 12:11a, NIV).
Disini kembali prinsip motivasi Tuhan dalam mendidik anaknya. Dia membuat hal itu menyenangkan bagi mereka yang taat padany dan tidak menyenangkan bagi yang tidak taat, mengetahui kalau mereka memiliki kecenderungna untuk berubah karena tekanan. Kata “memukul” menyatakan pada kita betapa Tuhan bisa membuat hal itu tidak menyenangkan. Secara literal itu berarti mencambuk atau memcut. Tuhan memukul setiap anakNya tanpa kecuali. Sebagian mungkin protes, “tapi misalkan semua orang tidak memerlukannya?” Kenyataannya setiap anak Tuhan memerlukannya, atau Tuhan tidak melakukannya. Dan jika setiap anak Tuhan perlu dipukul, jelas setiap anak kita juga memerlukannya.
“Tapi memukul? Itu cara lama,” kata pengkritik. Psikolog modern dan pendidik berkeras kalau ada cara yang lebih baik mengkoreksi anak. Salah seorang”ahli” yang pernah saya baca berkata pada anaknya untuk lari kalau dia memukulnya. Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk menghentikan metode koreksi yang sudah dibuktikan waktu ini. Sebagian mengatakan itu mengajarkan anak cara bodoh dan tidak bisa diterima dalam mengatasai masalah. Itu menunjukan pada dia kalau dia harus memukul saat dia marah.
Saya mengenal sebagian orangtua tidak pernah memukul anak mereka sampai hampir gila, tapi Alkitab tidak pernah berkata kita harus mengkoreksi dalam kemarahan. Kenyataannya, berlawanan: “Tuhan memukul orang yang dikasihinya.” Jika kita mengkoreksi dengan tenang seperti Tuhan, tidak ada bahayanya mengajarkan anak kita cara bodoh. “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya” (Prov. 22:15, KIV). Kata tongkat, bisa kita sebut cambuk. Seseorang pernah berkata bahwa hampir semua hal dalam keluarga modern diatur dengan cambuk kecuali anak-anak. Mungkin ditinggalkannya Alkitab merupakan sebab masalah yang kita hadapi.
Saat anak kita yang pertama masih kecil dia menerima mainan murah yang disebut Fli-Back. Itu terdiri dari kayuhan kayu dan bola karet kecil yang saling terkait melalui kaitan karet panjang. Caranya adalah dengan mengenai bola dengan kayuah saat karet membuatnya kembali. Anak kami tidak bisa menjalankan itu dengan baik, dan setelah karetnya putus, menjadikan mainannya tidak berarti –sebagai mainan itu jadi tidak berarti. Tapi satu hari, kami menemukan cara baru menggunakan mainan itu. Itu menjadi pembujuk yang baik dan aman. Kami menemukan dewan pendidikan kami, dan telah melayani dengan baik dikeempat anak kami saat mereka ditempat duduk untuk belajar. Anehnya, teman anak kami terus memberikan Fli-Backs sebagai koleksi mainan dihari ulangtahun, sampai kami bisa meletakan satu mainan disetiap ruangan. Saya mengakui, itu menjadi hadiah yang dibuka dengan perasaan bercampur.
Para “ahli” berkerut mendengar hal itu. Mereka berkata bahwa menggunakan mainan itu akan merintangi perkembangan kepribadiannya. “Jangan menekannya. Dia butuh mengekspresikan dirinya. Pembatasan kebebasan melakukan dan bicara apa yang disukainya bertindak sebagai katub pengaman yang membebaskan tekanan yang ada. Biarkan dia sendiri dan itu akan menjadi baik.” Alkitab memiliki cara pandang berbeda tentang membiarkan anak sendiri. “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Prov. 29:15, KIV). Saya mengenal para ibu yang baik yang malu terhadap apa yang dilakukan anaknya. Mereka mungkin mengikuti nasihat beberapa “ahli” modern daripada Firman Tuhan yang tidak bisa salah dan meninggalkan anaknya melakukannya sendiri, menjadi terlalu takut atau lelah menghadapi tantangan untuk membatasi anak dengan tongkat.
Mereka yang menolak memukul mengatakan bahwa itu bertentangan dengan perkembangan kesadaran anak. Daripada menolak tindakan yang salah itu, dia terus melakukannya, karena tahu dia bisa membayarnya dengan pukulan. Mereka berkeras bahwa sebagian anak menjadi nakal untuk dipukul karena mereka tahu mereka patut mendapatkannya. Jika demikian maka anak-anak kita tidak pernah dipukul sesuai dengan cara Alkitab. Anda sudah tahu bahwa saya berusaha menghindari kata hukuman dalam pembahasan ini. Kata itu berarti pembalasan, memberikan apa yang seharunya didapat saat kesalahan dibuat anak, akibat yang harus dibayar karena kesalahannya. Tuhan tidak menghukum anaknya. Dia menanggung hukuman dosa kita atas Yesus Kristus Christ (Isa. 53:4-6). Semua hutang dibayar dikalvaru dan kita telah ditebus dari semua dosa kita (Col. 2:13). Tidak ada lagi yang harus dibayar. Hukuman tidak pernah diperuntukan untuk orang percaya. Itu untuk mereka yang menolak pengorbanan Kristus bagi dosa (cf. 2 Thess. 1:7-9).
Tapi Tuhan memang mengkoreksi anaknya. Kita bisa mengatakan membuat jera anaknya, karena itu berarti pengaruh dari tindakan disiplin. Tangannya yang membuat jera tidak bermaksud membuat kita membayar, tapi membuat kita kembali, mengembalikan kita kejalan yang benar, menolong kita belajar apa yang benar dan salah, dan mendorong kita memilih yang benar. Dengan kata lain, itu produktif. Seperti kata penulis Ibrani, “Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Heb. 12:11b, NIV).
Banyak orangtua mengakui menggunakan disiplin dalam rangka pembalasan. Pemikirannya, “kamu tidak jujur, jadi harus membayar akibatnya.” Setelah mereka memukul anak mereka, mereka pikir sudah impas. Tapi itu bukan cara Tuhan. Dia tidak tertarik dengan itu tapi dalam hidup kudus. Tujuannya bukan meminta bayaran tapi menolong kita ingat jalan yang benar. Melakukan itu dengan tujuan yang benar, memukul tidaklah mengganggu perkembangan anak. Itu menajamkan.
Satu kesempatan setelah anak pertama kami sudah cukup umur untuk duduk diam digereja dan mendengarkan, istri saya dan saya membawa dia untuk mendengar pembicara yang sudah kami kenal lama. Steve tidak seperti biasanya sangat melawan dan tidak mau bekerja sama malam itu. Kami mencoba menenangkannya dengan pensil dan kertas, gambar dari dompet kami, dan semua taktik yang sudah kami pelajari digereja. Tapi dia berkeras dan melawan sehingga menyebabkan gangguan. Itu merupakan salah satu kejadian yang jarang terjadi dimana saya duduk bersama anak dan istri saya daripada bicara sendiri. Dan itu juga peristiwa yang jarang sebagai orangtua muda saya melakukan hal yang benar. Saya dengan tenang mengangkatnya dan membawanya keluar, kemobil. Setelah beberapa saat berdiskusi tentang prilaku yang pantas, saya mempraktekan disiplin yang Tuhan ajarkan. Kemudian saya mengangkatnya saat tangisannya mereda, meyakinkan dia kalau saya mengasihinya dan menjelaskan kalau saya ingin dia mengingat bagaimana bersikap dalam gereja. Setelah itu berakhir kami berjalan kembali kegereja bergandeng tangan, lebih dekat dari sebelumnya. Itu suatu pelajaran yang tidak bisa kami berdua lupakan, dan yang menajamkan kemampuannya menyerap apa yang dikatakan dimimbar.
Sebagian orang mungkin bertanya, “tapi bukankah itu dimotivasi dari ketakutan? Bukankah dia tidak melakukan itu lagi karena takut dipukul?” Menurut saya tidak. Rasa takut digunakan dalam cara yang berbeda dalam Alkitab. Itu bisa menunjuk pada emosi yang melumpuhkan dan terror, atau menunjuk pada rasa hormat yang sehat. Orang tidak percaya memiliki banyak alasa untuk takut pada Tuhan, dengan ancaman. Walau orang percaya juga dinasihati untuk takut akan Tuhan (Psa. 34:9, KJV), itu merupakan rasa takut yang berbeda. Tidak ada kekhawatiran atau ketakutan yang berhubungan dengan itu karena dibungkus dalam kasih. Rasul Yohanes membahas hubungan orang percaya dengan Bapa disurga: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1 John 4:18a, TLB).
Anda lihat, ketakutan seperti itu tidak menakutkan. Itu rasa hormat. Rasa hormat yang baik. Itu yang harus dirasakan orang percaya terhadap Tuhan, dan itu bumbu yang penting dalam hubungan orangtua-anak. Orangtua yang kasar dan menghukum akan memerintah dengan terror, dan memunculkan kekhawatiran neurotic. Tapi orangtua yang mengkoreksi dalam kasih mengembangkan rasa hormat anak, dan membangun dalam hidupnya keinginan untuk mau taat dalam rasa hormat dari kasih itu.
Sebagian orangtua tetap memprotes, “tapi saya terlalu mengasihi anak saya sehingga tidak bisa memukulnya. Itu terlihat kejam.” Itu salah satu kebohongan iblis. Tuhan mengatakan sebaliknya. “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” (Prov. 13:24, NASB). Mereka menyebut itu kasih saat mereka menolak mendisiplin anak mereka. Tuhan menyebut itu kebencian. Jika mereka memang mengasihi dia, mereka akan memastikan kalau dia sudah belajar mendisiplin jiwanya, mengetahui kalau disiplin diri akan berdampak pada kemampuannya mendapat pendidikan, pekerjaan, pernikahan yang sukses, bergaul dengan orang lain, dan berfungsi dengan baik dalam seluruh sisi hidup. Koreksi yang dilakukan dalam kasih tidak menghancurkan jiwa anak, dan jiwa yang terkontrol merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan yang berhasil. Koreksi memberik kepastian pada anak kalau anda cukup mengasihi dia sehingga peduli terhadap keberhasilan hidupnya. Menghindari hal ini memberikan anak alasan yang baik untuk meragukan perhatian kasih anda, mungkin meragukan kalau dia berasal dari anda. Penulis Ibrani meneguhkan prinsip itu: “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang” (Heb. 12:8, NASB). Orangtua yang menolak memukul anaknya adalah kejam.
Bukannya kejam, memukul sebenarnya bentuk koreksi yang paling baik. Itu jelas lebih berbelas kasih daripada merengek, dan mengancam sehingga menghancurkan rasa hormat. Itu lebih belas kasih daripada berminggu-minggu tidak diperhatikan bagi seorang anak. Tentu saat itu tidak enak. Tuhan mengatakan itu (Heb. 12:11). Tidak enak bagi mereka yang melakukannya dan tidak enak bagi yang meneriman. Jadi jujurlah. Itu bukanlah kasih kalau menjauhkan kita dari Firman Tuhan. Itu keinginan egois untuk menghindari ketidaknyamanan. Saat kita menyadari keegoisan kita membuat kita lebih tidak enak dalam jangka panjang, kita mulai mendidik anak dengan cara Tuhan.
Setelah dikatakan dan dilakukan, sebagian orangtua tetap takut kalau memukul hanya membuat anak lebih memberontak, mungkin itu akan membuatnya menjauh dari Tuhan. Tuhan berkata, “Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” (Prov. 23:13, 14, NASB). Itu semua harus dilakukan apakah anda percaya atau tidak perkataan ini dari Tuhan. Mereka yang melakukannya tahu kalau ini benar.
Jadi, jika ini metode Tuhan, kenapa banyak orangtua merasa tidak nyaman terhadap hal itu, dan merasa bersalah setelah melakukannya? Salah satu alasan mungkin berkaitan dengan strategi setan. Dia membuat Firman Tuhan dipertanyakan sejak Genesis 3:1, “apa itu perkataan Tuhan?” Dia ingin anak kita tidak dididik, jadi dia menanamkan benih keraguan dalam pikiran kita tentang mendidik mereka dalam cara Tuhan.
Tapi itu bukan satu-satunya alasan dari rasa bersalah. Orangtua seharusnya merasa bersalah saat mereka memukul anak mereka dalam kemarahan, tanpa kasih. Kasih tidak hanya apa yang kita katakan atau tindakan, tapi itu prilaku yang anak rasakan. Dan mereka jelas tidak merasa dikasihi saat kita menunjukan wajah menakutkan, saat kita kehilangan control emosi, dan tindakan kita merusak daripada memperbaiki. Kasih dikomunikasikan melalui kebaikan, ketenangan dan kontrol.
Kita juga merasa bersalah saat kita memukul untuk alasan yang salah. Kadang kita memukul karena kita marah terhadap ketidaknyamana yang disebabkan anak kita. Kita harus membersihkan lantai atau mengambil gelas yang pecah, dan itu mengesalkan kita. Apakah anda senang Tuhan tidak mendisiplin anda karena kecelakaan, kesalahan, atau karena tidak ingat? Kita perlu mengajar anak kita untuk hati-hati, tapi kalau itu seperti menumpahkan sesuatu dengan tidak disengaja, itu tidak layak dipukul.
Kita mungkin tidak perlu memukul anak karena keingintahuannya yang alami, keinginannya untuk menyentuh sesuatu. Lebih baik meletakan sesuatu yang kita tidak ingin dia sentuh diluar jangkauannya. Saya takut beberapa orangtua menggoda anak mereka dengan meninggalkan barang yang mahal berserakan dimana-mana. Kita berarti mendorong ketidaktaatan dengan berkata pada anak kecil, “jika kamu menumpahkan pudding itu, kamu akan dipukul.” Anda telah membangkitkan nature lama untuk bertindak, dan bahkan mendorongnya melakukan itu. Lebih baik menyingkirkan pudding dari tempat itu. Ada banyak kejadian dimana kita membuat anak tidak taat melalui hal seperti diatas. Saya percaya Tuhan khawatir jika kita menggunakan semua maksud kreatif untuk membuat anak tidak taat.
Memukul anak karena menggigit kuku atau mengisap jempol merupakan tindakan mengalahkan diri sendiri. Itu hanya meningkatkan ketegangan yang ada. Kita seharusnya tidak memukul karena prilaku yang tidak biasa disebabkan oleh kelelahan atau sakit. Juga karena anak tidak mampu melakukannya, seperti duduk diam selama perjalanan yang sangat lama dimana dia masih sangat kecil.
Kadang prilaku pemberontakan anak muncul dari ketakutan atau ketidaknyamanan. Jika dia merasa terancam atau tidak dikasihi, lebih baik bagi kita untuk mendengar dengan sabar dan mencoba mengerti perasaannya daripada memukulnya. Pemukulan hanya membuat rasa terancam dan tidak dikasihi lebih parah. Pemukulan seharusnya dilakukan untuk pemberontakan langsung terhadap otoritas, ketidaktaatan yang sengaja dari perintah kita, atau prilaku keras kepala, tidak ada yang disebabkan oleh mengurangi kesalahan karena situasi. Itu membutuhkan orang Kristen yang dipenuhi Roh yang berjalan dengan Tuhan dan memiliki hikmat untuk mengetahui kapan harus memukul.
Kita juga merasa bersalah memukul karena kita terlalu kasar. Jika kita menjadi sangat marah maka kita memukul lebih kuat dari seharusnya. Rasa bersalah mungkin cara Tuhan memperingatkan kita akan kerusakan yang kita lakukan baik terhadap mereka dan anda. Buatlah koreksi pas dengan kejahatan jika anda ingin menikmati nurani yang tenang dihadapan Tuhan. Kadang kita melakukan hukuman yang tidak layak dalam kemarahan penuh. Jangan takut mengatakan, “maaf,” kemudian tegaskan hal itu.
Kita juga harus menambahkan kalau ada maksud efektif lain disamping memukul. Tuhan tidak memberi contoh dan tidak ada alasan melakukannya. Alkitab menekankan tongkat tidak menghilangkan metode koreksi lain. Pribadi yang berbeda dan tingkatan respon membuat pendekatan berbeda. Jika Johnny kehilangan tricycle beberapa hari lalu karena dia berkeras mengendarainya dijalan, dia akan belajar batasan yang ada. Jika dia mendapatkan dirinya kemudian diisolasi dalam kamarnya setiap kali menggoda adiknya, dia mungkin memutuskan kalau menggoda merupakan prilaku yang tidak mengguntungkan dan membuangnya.
Remaja lebih baik diberi disiplin yang berbeda. Ada saatnya memukul hanya memperkeras dan memedihkan orang muda, dan metode koreksi lain menjadi lebih efektif. Dengan kata lain, mungkin pendisiplinan sudah terlambat. “Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” (Prov. 19:18, TLB).
Penegasan dengan kata-kata mungkin sudah cukup dikejadian tertentu, tapi itu harus dilakukan dengan kasih. Lupakan menguliahi dengan kemarahan dan semua ancamannya. Itu hanya menghasilkan pemberontakan. Anak-anak sadar ancaman itu kosong, dan mereka tahu semua maksud kata-kata itu. Lakukanlah dengan cara Tuhan. Itu tidak selalu cara yang mudah, tapi itu menolong anda mengkoreksi dengan baik, tenang, dan kasih –tapi langsung dan tegas. “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Prov. 29:17, TLB).
 http://bible.org/seriespage/dewan-pendidikan

Senin, 11 Juli 2011

The Lost Year of Jesus

THE LOST YEARS OF JESUS:
DIMANA YESUS BERADA KETIKA BERUSIA 12-30 TAHUN?


Yohanes 21:25
LAI TB, Masih banyak hal lain yang dilakukan oleh Yesus. Andaikata semuanya itu ditulis satu per satu, saya rasa tak ada cukup tempat di seluruh bumi untuk memuat semua buku yang akan ditulis itu.
KJV, And there are also many other things which Jesus did, the which, if they should be written every one, I suppose that even the world itself could not contain the books that should be written. Amen.
TR, εστιν δε και αλλα πολλα οσα εποιησεν ο ιησους ατινα εαν γραφηται καθ εν ουδε αυτον οιμαι τον κοσμον χωρησαι τα γραφομενα βιβλια αμην
Translit. Interlinear, estin {adalah} de {adapun} kai {juga} alla {hal-hal lain} polla {banyak} hosa {yang} epoiêsen {melakukan} ho iêsous {Yesus} hatina {yang} ean {jikalau} graphêtai {mereka ditulis} kath hen {satu per satu} oude {bahkan tidak} auton {ini} oimai {aku mengira} ton kosmon {dunia} chôrêsai {dapat mencatat} ta graphomena {ditulis} biblia {gulungan2 kitab} amên {Amin}

Keempat periwayat Injil hanya menceritakan kehidupan Yesus ketika :
ØIa dilahirkan (Matius 1:18-25; Lukas 2:1-7),
ØIa disunat pada usia 8 hari dan diserahkan di Bait Allah (Lukas 2:21-40),
ØPemunculan-Nya kembali di tempat Bait Allah yang sama pada umur 12 tahun (Lukas 2:41-52), dan
ØPenampilan diri-Nya di depan umum setelah dibaptiskan oleh Yohanes, "ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira 30 tahun" (Lukas 2:23).

Jadi, ada "waktu senyap" (the silent period) selama 18 tahun, antara usia 12 sampai 30 tahun. "Kesenyapan" ini (minimal kalau kita mengikuti corak pikiran itu), telah menyebabkan banyak penulis mencoba mengisinya menurut tuntutan kepentingan mereka dan pengandaian-andaian mereka sendiri.
Dari abad ke abad, khususnya setelah zaman Rasuli yang dimulai pada akhir abad ke-2 Masehi, berbagai spekulasi mulai berkembang. "Kisah-kisah lancung" inilah yang akhirnya menjadi tulisan-tulisan apokrifa dan pseudographa.
Literatur ini banyak dijadikan rujukan oleh ahl al-bid'ah (heresy). Contoh-contoh tulisan apokrif ini misalnya- Injil al-Tufuliyah (Arabic Gospel of Infancy) yang berasal dari abad ke-7 Masehi. Dalam buku ini dikisahkan bahwa Yesus dapat berbicara pada waktu bayi ketika Yesus sedang digendong Maryam, ibu-Nya. "Ana huwa Yasu'a Ibn Allah" (Akulah Yesus, Putra Allah), kata bayi Yesus kepada ibu-Nya, "alladzi walidati kamma basyiruki Jibril al-Malak wa atta arsalni lil khalash al-'alam" (yang dilahirkan sebagai berita gembira dari malaikat Jibril kepadamu dan aku diutus untuk keselamatan dunia).
Selanjutnya, berita Injil Matius 2:13-15 mengenai pelarian ke Mesir, dalam Injil Palsu Matius (Pseudo-Gospel of Matthew) yang berasal dari abad ke-5 Masehi, dikembangkan menjadi kisah-kisah ajaib berlebih-lebihan, pohon korma yang membungkuk menuruti perintah Yesus masa kanak-kanak untuk mengeluarkan buahnya dan air segar yang memancar dari bawah pohon itu.
Demikian pula, kisah-kisah ajaib mengenai remaja Yesus yang membuat burung dari tanah liat, dimuat dalam The Gospel of Thomas (Injil Thomas) berbahasa Yunani yang berasal dari abad ke-3 Masehi. Kisah-kisah ini sangat populer di kalangan sekte-sekte heretik Kristen di tanah Arab menjelang dan pada saat kelahiran Islam. (lihat Artikel INJIL-INJIL RAHASIA (Apokrif), di injil-injil rahasia apokrif vt2455.html#p13590 )

THE DEAD SEA SCROLLS:
MENCARI JEJAK YESUS DI GUA-GUA WADI QUMRAN
Sejak tahun 1947, setelah menemukan manuskrip-manuskrip Laut Mati, para ahli sibuk mengaitkan dengan sejarah Kekristenan awal. Menurut kesepakatan para ahli yang terkenal, gua-gua lautan mati menyimpan bukti sejarah orang-orang eseni (Essene). Kaum Eseni adalah sekelompok orang Yahudi yang tidak puas dengan pemilihan imam besar di Bait Allah Yerusalem. Lalu, mereka mendirikan komuniti tersendiri di Laut Mati di bawah pimpinan seseorang yang bergelar Guru Kebenaran (Moreh Hassedeq) atau Guru Komunitas (Moreh hayyahad).
Menurut James H. Charlesworth, komunitas Qumran dimulai kira-kira tahun 150 SM, dan berakhir ketika tentara Roma menghancurkan tempat ini tahun 68 M. Dan dari sebelas gua-gua yang dihuni oleh orang-orang Qumran, para penghuni Qumran meninggalkan bagi kita naskah-naskah kuno, termasuk teks-teks Alkitab Perjanjian Lama, yang sebagian besar tertulis dalam bahasa Ibrani/Arami dan sebagian kecil sisanya berbahasa Yunani (khususnya gua-7). Manuskrip terkuno dapat ditentukan berasal dari tahun 250 SM, jadi 100 tahun sebelum manuskrip itu dibawa oleh penghuni Qumran dalam tempat-tempat pengungsiannya.
Pada awal penemuan naskah-naskah ini, dunia ilmu pengetahuan seperti tersentak. Lebih-lebih, apabila ketika para ahli sedang mencari-cari 18 tahun kehidupan Yesus yang tidak dikisahkan dalam Pejanjian Baru. Hal ini tampak dari judul buku Charles Francis Potter, The Lost Years of Jesus Revealed. [5]
Sehingga banyak orang harap-harap cemas dengan penemuan terbesar abad ke-20 tersebut, secara khusus dalam usaha mencari "benang merah" dengan sejarah Kekristenan mula-mula. "Dalam banyak segi", tulis Duport Summer, "Tuan (Master) Galilea itu tampak sebagai seorang reinkarnasi Guru Kebenaran dari Qumran yang sangat mencengangkan".
Sedangkan Potter, sambil mengemukakan teorinya bahwa kaum Eseni Qumran adalah "ibu dari Kekristenan", secara lebih bombastis lagi menulis:
Dan sekarang setelah terbukti bahwa sejarah Kekristenan dapat ditemukan dalam masyarakat yang disebut Perjanjian Baru (B'rit ha-Hadasah) yang biasa disebut ESENI. Masalah penting yang menantang seluruh dunia Kristen ialah, apakah seorang anak akan mempunyai keperwiraaan, keberanian dan kejujuran untuk mengakui dan menghormati ibunya sendiri.

Robert Einseman, salah seorang dari sarjana peneliti Qumran yang sangat liberal, menunjukkan bahwa banyak petunjuk yang dengan jelas menghubungkan Qumran dengan Kekristenan awal. Einseman berangkat dari fakta bahwa Kekristenan Yahudi awal di Yerusalem disebut NOTZRIM (im bentuk jamak), yang menunjuk komunitas "pengikut Yesus, orang Nazaret" (Kisah Para Rasul 24:5; Matius 2:23). Akan tetapi Robert Einseman menghubungkan nama Kekristenan awal ini dengan istilah Ibrani "NOTSERI" (yang memelihara). Jadi, cocok dengan komunitas Qumran yang juga disebut "NOTSERI HA-BERIT" (yang memelihara Perjanjian).
Selanjutnya, Einseman juga mengemukakan fakta tentang adanya komunitas Kristen Yahudi pada abad ke-2 Masehi di Jabal Fahin (Yunani: Pella), seberang Yordan, yang disebut "Ebionit". Karena istilah ini berasal dari bahasa Ibran EBIYON (orang-orang miskin), maka cocok dengan identitas jemaat Yerusalem sendiri (Galatia 2:10).
Data-data ini oleh Einseman ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga terbangunlah teorinya yang menganggap bahwa Guru Kebenaran (Moreh hassadeq) yang disebut dalam naskah-naskah Qumran itu adalah Yakobus, saudara Yesus yang juga digelari Ha-Tsadiq (Yang Benar) dalam Gereja kuno. Sedangkan 2 tokoh lain yang juga disebut-sebut dalam naskah Qumran adalah Imam yang jahat, yang oleh Einseman ditafsirkan Kayafas dan Pendusta adalah Rasul Paulus. Dengan menyebut Paulus sebagai pendusta maka Einseman mempertentangkan Kekristenan yang Paulinis dengan Kekristenan Yahudi di Yerusalem.
Walaupun ada kemiripan yang ditemukan mengenai komunitas Qumran dengan Kekristenan, semua teori yang disebut di atas terus berubah. Kalau di awal-awal penemuan naskah ini sosok Guru tergolong cukup misterius, kini menjadi tidak lagi setelah data-data semakin lengkap direkontruksi. Memang, istilah-istilah Eseni, Oseni, Natsorea, Ebiyonim, Notsrim, Hasidim, Zaddikim tampak sebagai variasi-variasi atas tema yang satu dan sama. Istilah Eseni, misalnya, berasal dari kata "osei hattorah" (mereka yang melakukan Torah).
Jadi, meskipun nama-nama itu berkatian, tetapi semua menunjuk kepada latar belakang warisan spiritual bersama. Artinya, sangat gegabah untuk waktu sekarang mencari asal-usul istilah Perjanjian Baru dari Qumran, sebab istilah itu berakar dari pengharapan Yudaisme pada umumnya (bandingkan Yeremia 31).
Juga, mengasalkan tema Injil Yohanes tentang "terang dan gelap" dari salah satu naskah Qumran (1QM) berjudul Milkamah (Perang). Naskah ini memuat "Peperangan anak-anak Terang dan anak-anak Kegelapan". Sebab tema gelap dan terang adalah tema umum Yudaisme, dan lagi dalam pandangan Qumran peperangan itu bersifat abadi. Sedangkan dalam Injil Yohanes:
"Terang itu bercahaya dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya." (Yohanes 1:5).

Kesimpulan semacam itu telah dibuat oleh 2 orang penulis polemik Muslim yang tidak berasal dari kalangan ahli atau pakar. Mereka adalah O. Hasyem dalam buku Tantangan Dari Qumran, 9) dan Saleh A. Nahdi dalam buku, Nafiri Maut dari Lembah Qumran. 10) Berdasarkan penelitian penulis lain yang belum final, antara lain Charles Francis Potter dan Duport Summer yang telah disebutkan di atas, kedua penulis Muslim ini terburu nafsu menyimpulkan bahwa ajaran Kristen adalah hasil pemalsuan dari ajaran Yesus asli. Logik mereka begini, Yesus adalah Guru Kebenaran sendiri. Padahal setelah diteliti, dalam naskah-naskah Qumran tidak ada ajaran mengenai penyaliban Yesus, Tritunggal, dan pokok-pokok ajaran Kristian lainnya. Jadi, terlalu pagi untuk meyimpulkan bahwa asal Kekristenan dari kaum Eseni di Qumran. Apalagi untuk menyimpulkan bahwa Guru Kebenaran itu Yesus sendiri.
Kesimpulan semacam itu telah dibuat oleh 2 penulis Islam yang "tidak berasal dari kalangan ahli". Berdasarkan atas 2 penelitian orang lain yang belum final, 2 penulis ini: O. Hasyem, Tantangan Dari Qumran, dan Saleh A. Nahdi, Nafiri Maut dari Lembah Qumran. Berdasarkan penelitian penulis lain yang belum final, antara lain Charles Francis Potter dan Duport Summer yang telah disebutkan di atas, kedua penulis Muslim ini terburu nafsu menyimpulkan bahwa ajaran Kristen adalah hasil pemalsuan dari ajaran Yesus asli. Logika mereka begini, Yesus adalah Guru Kebenaran sendiri. Padahal setelah diteliti, dalam naskah-naskah Qumran tidak ada ajaran mengenai penyaliban Yesus, Tritunggal, dan pokok-pokok ajaran Kristian lainnya.
Dengan berlagak sebagai ahli dan 'pakar', kedua penulis itu juga menguraikan perbedaan-perbedaan ajaran Kristen dengan Guru Kebenaran untuk menyatakan "kepalsuan ajaran Kristen". Padahal, Yesus jelas-jelas bukan Guru Kebenaran yang dimaksud dalam naskah-naskah Qumran itu. Masa hidup Guru Kebenaran memang terjadi sebelum zaman Kristus. Jean Danielou dalam The Dead Sea Scrolls and Primitive Christianity menulis bahwa Guru Kebenaran dari sekte Eseni di Qumran telah wafat kira-kira tahun 50 S.M.
Lebih-lebih penemuan terakhir dari The Dead Sea Scrolls. Menurut hasil penelitian O'Chalagan, terta salah satu naskah berbahasa Yunani yang ditemukan di gua tujuh adalah serpihan fragmen Injil Markus 6:52-53 dan 1 Timotius 3:16. Bukti baru ini menunjukkan bahawa teori yang selama ini menentukan penulisan Injil Markus setelah tahun 60 akan gugur. Sebab menurut kesaksian sejarawan Yahudi, Flavius Josephus dalam Antiquities of The Jews, komuniti Qumran berakhir akibat serangan militer Roma pada tahun 68 Masehi.
Jadi, Injil ini sudah ada di Qumran kemungkinan karena dibawa oleh orang-orang Kristian yang menginjil setelah cetusnya perang Yahudi tahun 66 M. Oleh kerana itu, Injil harus ditulis pada masa yang lebih awal lagi. Bahkan sudah ditemukannya fragmen Surat Paulus di Qumran, jelas telah menggugurkan teori 'pertentangan Yakobus dan Paulus' sebagaimana dikemukakan di atas.

DIMANAKAH YESUS KETIKA BERUSIA 12-30 TAHUN?
Dari deskripsi tersebut di atas, jelas bahwa semua teori yang mencari-cari "the silent period" (waktu senyap) Yesus itu akan tinggal sebagai "spekulasi cerdik" belaka. Bahkan teori-teori seperti itu sebenarnya tidak akan mucul apabila kita memahami dengan baik kebudayaan dan agama Yahudi, yang menjadi latar-belakang kehidupan Yesus, "yang lahir dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat" (Galatia 4:4).
Mengapa Yesus hanya ditampilkan hanya kelahiran-Nya, usia 12 tahun dan baru ditulis lagi setelah berusia 30 tahun? Dari perspektif Yahudi, hal itu bukan hal yang aneh, sebab menurut budaya Yahudi seorang laki-laki baru boleh mengajar di depan umum pada usia 30 tahun.
Menurut hukum Yahudi, usia seorang anak digolongkan dalam 8 tahapan:
1)      YELED, "usia bayi";
2)      YONEK, "usia menyusu";
3)      OLEL, "lebih tua lagi dari menyusu";
4)      GEMUL, "usia disapih";
5)      TAPH, "usia mulai berjalan";
6)      ULEM, "anak-anak";
7)      NA'AR, "mulai tumbuh remaja"; dan
8)      BAHAR, "usia remaja".  
Dari catatan tentang kehidupan Yesus dalam Injil, kita hanya membaca tiga klasifikasi usia saja yang dimuat, yaitu bayi (YELED), usia disapih (GEMUL), ketika ia diserahkan di Bait Allah di hadapan Simeon dan Anna, dan remaja (BAHAR, 12 tahun) ketika Yesus diajak Yusuf dan Maria, kedua orang tuanya, ke Yerusalem.
Mengapa Yesus muncul pada usia 12 tahun? Karena usia 12 bagi tradisi Yahudi zaman Yesus begitu penting, karena seorang anak laki-laki Yahudi harus melakukan upacara yang disebut BAR MITSVAH (anak Hukum). Menurut legenda Yahudi, pada usia 12 tahun Nabi Musa meninggalkan rumah putri Firaun, Samuel menerima suara yang berisi visi Ilahi, Salomo (Nabi Sulaiman) mulai menerima Hikmat Allah dan Raja Yosia menerima visi reformasi agung di Yerusalem.
Dalam rangkaian ritus Yahudi itu Yesus harus melakukan 'ALIYAH (naik) dan BEMAH (menghadap mimbar untuk menerima kuk hukum Taurat). Upacara ini dilakukan pada hari Sabat, karena itu disebut juga THEPILIN SHABAT.
Sejak abad-abad Pertengahan, usia BAR MITSVAH dilakukan pada usia 13 tahun. Menurut literatur Yahudi abad pertengahan Sepher Gilgulim, semua anak Yahudi sejak usia 12 tahun, mulai menerima ruah (roh hikmat) dan pada usia 20 tahun ditambahkan baginya NISHAMA (reasonable soul, "jiwa akali").
Mulai usia 20 tahun tersebut seseorang harus memasuki sekolah khusus Yahudi (BET MIDRASH). Sedangkan tahapan-tahapan pendidikan Yahudi adalah sebagai berikut: MIQRA (membaca Taurat) mulai usia 5 tahun, MISHNA mulai usia 10 tahun, TALMUD pada usia 13 tahun (zaman Yesus 12 tahun); MIDRASH (madarasah) pada usia 20 tahun, dan sejak usia 30 tahun baru boleh mengajar di depan umum. Alkitab memang tidak menjelaskan mengenai hal itu secara detail waktu-waktu yang dihabiskan Yesus pada masa kecil hingga dewasa. Hanya ada ayat-ayat yang implisit menyatakannya. Salah satunya adalah ini :
Lukas 2:49-51
2:49 Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?"
2:50 Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka.
2:51 Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.

Perhatikan frasa "Mengapa engkau mencari AKU? Aku harus berada di-Rumah Bapa-ku." Saat itu Yesus mengucapkannya saat Ia berada di-Bait suci Yerusalem. Jadi dari ayat tsb, apabila kita kaitkan dengan budaya Yahudi pada masa itu, maka secara tradisi kita bisa memahami bahwa setiap anak-anak Israel harus sekolah hingga usia 17-19 tahun.
Lalu saat memasuki usia 20 tahun (usia madarasah), dan mereka yang mau melanjutkan sekolah theology, boleh memasuki pendidikan keimaman/ pengajar Taurat. Pendidikan imam Yahudi berlangsung kurang lebih 10 tahun. Mulai dari jabatan imam pendamping, imam muda, hingga imam kepala.
Bait Suci menjadi tempat pendidikan imam/ ahli-ahli Taurat. Maka dari itu Yesus berkata : "Mengapa engkau mencari AKU? Aku harus berada di-Rumah Bapa-ku (di-bait suci)" Lukas 2:49.
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa Yesus sepanjang usia 12-19 tahun menempuh pendidikan umum sebagaimana anak-anak Israel yang lain, lalu memasuki usia 20-30 tahun, Ia menempuh & lulus pendidikan imam/ sebagai ahli Taurat di-bait suci. Baru kemudian menapak usia 30 tahun, Ia memasuki dunia pelayanan publik. Dengan di-awali oleh Baptisan Yohanes.
Adakah bukti bahwa Yesus pernah menempuh pendidikan imam?
Hal ini didasari atas 3 fakta :
1.      Memang jenjang pendidikan imam Yahudi adalah 10 tahun (usia 20-30 tahun). Hal tsb saat ini di-teladani oleh banyak Sinode dalam jenjang Kependetaannya. Misal:
Dari Deacon ke Pdp (Pendeta Pembantu) ---> 2 tahun.
Dari Pdp ke Pdm (Pendeta Muda) ---> 4 tahun
Dari Pdm ke Pdt (Pendeta Otonom) ---> 4 tahun
Total 10 tahun.
2.      Para alumni / Lulusan sekolah imam itu biasanya dipanggil: Rabbi atau Guru. Sebutan ini Khas karena menunjukkan suatu jabatan. Tidak semua orang boleh dipanggil Rabbi atau Guru. Kecuali mereka yang pernah menempuh Study Theology di-sekolah-sekolah imam tsb. Gelar ini diucapkan oleh khalayak Yahudi apda masa itu karena Yesus pernah menjalani pendidikan sebagai ahli Taurat/ pendidikan keimaman. Banyak bukti Alkitab yang membuktikan Yesus dipanggil Rabbi atau Guru oleh masyarakat Yahudi yang bukan dari kalangan 12 murid-Nya. Dari situ kita dapat melihat bahwa Ia memang pernah menempuh pendidikan itu.
Bahkan ahli-ahli Taurat & para Farisi pun segan dengan Yesus dan mereka juga memanggil Yesus dgn sebutan : Rabbi, karena mereka memang tahu bahwa Yesus punya latar belakang pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi dari mereka:

Yohanes 8:3-4
8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
3.      Tidak semua orang punya hak/ akses mengajar di-bait suci. Bahkan Yohanes Pembaptis aja tidak melakukan itu. Karena hanya mereka yang punya latar belakang pendidikan keimaman dan Taurat yang boleh mengajar di-Bait Suci. Dan karena Yesus mempunyai jabatan "Rabi", maka Ia diperbolehkan mengajar di-Bait suci:
Yohanes 8:2
Pagi-pagi benar Yesus berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.


PENUTUP
Dari tahapan-tahapan pendidikan Yahudi pada zaman Yesus serta latar belakang agama dan budayanya, jelas bahwa spekulasi-spekulasi mengenai 18 tahun kehidupan Yesus yang hilang, sama sekali tidak mempunyai landasan sejarah. Jadi, kemana Yesus selama 12 tahun sampai 30? Jawabannya, berdasarkan data-data Injil sendiri (Matius 13:55; Markus 6:3), Yesus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya anak-anak Yahudi dan ia bersama keluarganya bekerja di Nazaret sebagai tukang kayu.
Mengapa kisah kehidupan-Nya baru dicatat setelah usia 30 tahun? Karena memang demikianlah lazimnya kehidupan orang Yahudi, sedangkan usia 12 tahun juga disinggung karena sebagai usia BAR MITSVAH. Adanya spekulasi-spekulasi Yesus telah sampai di India untuk belajar yoga bersama guru-guru dari Timur Jauh sebenarnya adalah hanya cerita dongeng dan fiksi yang hanya menarik didengar, daripada dapat dibuktikan secara historis ataupun sebagai fakta sejarah.
Alkitab cukup memberikan informasi bahwa sejak kecil hingga berusia ± 30 tahun, Yesus Kristus tinggal di Nazaret :
Lukas 2:51
LAI TB, Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.
KJV, And he went down with them, and came to Nazareth, and was subject unto them: but his mother kept all these sayings in her heart.
TR, και κατεβη μετ αυτων και ηλθεν εις ναζαρετ και ην υποτασσομενος αυτοις και η μητηρ αυτου διετηρει παντα τα ρηματα ταυτα εν τη καρδια αυτης
Translit. Interlinear, kai {lalu} katebê {Ia turun (dari Yerusalem)} met {bersama} autôn {mereka} kai {dan} êlthen {datang} eis {ke} nazaret {nazaret} kai {dan} ên hupotassomenos {tetap tunduk dibawah perintah/ didikan/ asuhan} autois {kepada mereka} kai {lalu} hê mêtêr {ibu} autou {-Nya} dietêrei {menyimpan} panta {semua} ta {itu} rêmata tauta {hal-hal ini} en {dalam} tê kardia {hati} autês {-nya}
Frasa "Ia tetap hidup dalam asuhan mereka", "ên hupotassomenos autois" menyiratkan bahwa Yesus tetap bersama orang tuanya. Perhatikan ' hupotassomenos' dari kata 'hupotasso' dibentuk dari kata 'hupo', "di bawah"; dan 'tasso', "perintah", "didikan", "asuhan".

Dengan ini Alkitab merujuk bahwa usia 30 tahun merupakan usia yang sering dirujuk dalam Alkitab untuk seseorang memulai "tugas"nya. Yusuf mulai menjadi penguasa muda Mesir saat berusia 30 tahun. Orang Yahudi yang "wajib tugas" ditentukan mulai usia 30 tahun hingga 50 tahun (Bilangan 4), Daud mulai menjadi raja saat berusia 30 tahun. Maka, adanya spekulasi-spekulasi Yesus sampai di India untuk belajar yoga bersama guru-guru dari Timur jauh, adalah fiksi yang hanya menarik didengar, ketimbang dibuktikan secara historis. 



http://www.sarapanpagi.org/the-lost-years-of-jesus-vt42.html

Jumat, 08 Juli 2011

Israel dan Gereja

Memahami beberapa pilihan Theology

Ketika mempelajari agama Yahudi (akar dari Kekristenan), seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan tertentu mengenai asalnya "Gereja", asalnya "Israel", dan hubungan antara mereka. Apakah orang Kristen menjadi "Yahudi" karena hubungan mereka dengan Yesus ? Apakah "Gereja" menggantikan orang-orang Yahudi dalam rencana Allah sebagai "Israel yang baru" ?
Sebenarnya bagaimana sih kita seharusnya memahami hubungan antara Israel dan Gereja hari ini ?
Secara umum, Theology Kristen telah mengembangkan 3 sistem interpretasi berbeda yang berusaha untuk menjawab pertanyaan seperti ini :
  1. Replacement Theology (Gereja dan Israel merujuk pada sekelompok orang yang sama.)
  2. Separation Theology (Gereja dan Israel merujuk kepada kelompok orang yang berbeda.)
  3. Remnant Theology (Gereja dan Israel tumpang tindih dalam beberapa cara.)
Sebagaimana yang akan kita lihat, masing-masing sistem ini mengarah kepada kesimpulan yang berbeda secara radikal, tetapi sebelum kita menjelajah lebih detail, kita perlu mendefinisikan dulu beberapa istilah. Khususnya kita perlu mendefinisikan "Israel" dan "Gereja".

Definisi Israel

Pada kitab Taurat (kelima kitab Musa pada Alkitab), Israel merujuk pada suatu nama baru yang diberikan Tuhan kepada Yakub, yang mana Yakub adalah anak Ishak, cucu Abraham, dan bapak dari ke-12 suku Israel (Kej 32 : 28). Israel lebih mengacu pada keturunan Yakub yang masuk ke Mesir (akibat dari yusuf yang dibuang oleh saudaranya) (lihat Kej 37 : 12-36 & Kej 41 :37-57 & Kej 46), dan di bawah naungan Yusuf kemudian berkembang menjadi bangsa yang besar pada masa Firaun (Kel 1 : 7). Selama zaman Musa orang-orang yang berasal dari keturunan Yakub ini secara kolektif disebut "The Children of Israel (Anak-Cucu Yakub)" atau "Israelites (Bangsa Israel)". Kelompok orang-orang inilah yang dipimpin Musa keluar dari Mesir pada saat יציאת מצרים atau Yetziat Mitzraim / Keluaran dari Mesir (Kel 3 :6-10) serta menjadikan mereka bangsa pilihan Tuhan / umat Tuhan (Kel 6 : 5-7) di bawah ketetapan Sinai dan persyaratannya (lihat Kel 19 : 3-6). Kemudian kelompok orang-orang yang sama inilah berhasil merebut tanah yang dijanjikan kepada Abraham oleh Allah (tanah perjanjian : lihat Kej 15 : 18-21 & Kej 17 : 2-8) di bawah kepemimpinan Yosua (lihat Yosua pasal 1).
Setelah Yosua memimpin kemenangan untuk bangsa Israel di tanah Kanaan (Yosua 23 : 1-6). Bangsa yang baru memiliki tanah air ini menerapkan sistem pemerintahan semacam Theocracy dengan המשכן atau HaMishkan (Kemah Suci / Tabernacle) sebagai pusat ibadah (Keluaran pasal 25 & pasal 26). Setelah Yosua mati bangsa Israel mulai murtad (Hakim-Hakim 2 : 6-23), berbagai שופטים atau Shofetim (Hakim) muncul yang menyebabkan pertempuran melawan orang Filistin dan Kanaan. Entah kenapa ? kemudian orang Israel menghendaki seorang raja (lihat 1 Samuel pasal 8) dan Samuel mengurapi Saul sebagai raja pertama Israel (1 Samuel pasal 9). Kemudian Daud menggantikan Saul sebagai raja (1 Samuel pasal 16 & 2 Samuel pasal 5). Daudlah yang ingin membangun בית המקדש atau Beit HaMikdash (Bait Suci) untuk menghormati Tuhan, Allah Israel, Tuhan membuat perjanjian dengan dia bahwa salah seorang keturunannya akan memerintah atas Israel untuk selama-lamanya (2 Samuel pasal 7). Daud meninggal, namun, tanpa membangun Bait Allah, sehingga anaknya Salomo naik takhta dan menyelesaikan proyek pembangunan Bait Suci (1 Raja-Raja pasal 5).
Setelah Salomo mati kerajaan Israel terpecah menjadi 2 (1 Raja-Raja pasal 12). Kerajaan selatan disebut Yehuda (termasuk kota Yerusalem dan Bait Allah). Kerajaan utara disebut Israel, dua kerajaan ini sering bertengkar satu sama lain sampai kekaisaran Asyur menaklukkan kerajaan utara "Israel" (2 Raja-Raja pasal 17) 10 dari 12 suku Israel dipaksa keluar dari Kanaan oleh Asyur (Diaspora Pertama) selain itu raja Asyur juga membawa orang asing (orang-orang Samaria) untuk menduduki dan mendiami tanah Kanaan menggantikan orang Israel (lihat 2 Raja-Raja 17 : 24-41). Setelah kerajaan utara runtuh kemudian kekaisaran Babel di bawah pemerintahan raja Nebukadnezar menyerang kerajaan selatan "Yehuda", Babel membakar rumah Tuhan, rumah raja, dan semua rumah di Yerusalem serta mengangkut Yehuda ke pembuangan di Babel (2 Raja-Raja 25 : 8-12). Setelah kematian Nebukadnezar, kekaisaran Babel ditaklukkan oleh Koresy raja negeri Persia. Tuhan menggerakkan hati Koresy untuk mengizinkan orang-orang Yahudi pulang ke Yerusalem yang terletak di Yehuda (Ezra pasal 1). Kemudian orang-orang Yahudi yang pulang tersebut mulai membangun dan mentahbiskan kembali Bait Allah yang telah dihancurkan oleh Babel (Ezra 6 : 13-22).
Catatan :
  • Bait Allah dihancurkan oleh Babel sekitar tahun 586 SM (2 Raja-Raja pasal 25)
  • Bait Allah dibangun kembali sekitar tahun 536 SM pada zaman raja Persia Koresy (lihat Ezra pasal 1 sampai pasal 3)
  • Pembangunan sempat terhambat namun Bait Allah dapat selesai pada zaman raja Persia Darius I sekitar 516 SM (lihat Ezra pasal 4 sampai 6)
  • 586 SM - 516 SM = 70 tahun (genap sudah janji Tuhan seperti yang diucapkan Yeremia) lihat Yeremia 29 : 10 bandingkan dengan Ezra 1 : 1
  • Judea biasa disebut (bahasa Ibrani: יהודה, Standard Yehuda; bahasa Yunani: Ιουδαία; bahasa Latin: Judaea), pada zaman Hadrianus Judea berganti nama menjadi Palestine
  • Paragraf selanjutnya mengambil referensi dari ensiklopedia bebas "Wikipedia" (Post-Biblical History atau "Sejarah setelah Alkitab")
Kemudian Yunani mulai melebarkan sayap kekuasaannya di bawah pimpinan "Alexander the Great" mengalahkan pasukan Persia yang dipimpin oleh raja Darius III di Macedonia (333 SM) dan akhirnya menaklukkan tanah Syria-Judea (Suriah-Palestine), selanjutnya seorang penguasa Yunani bernama Antiochus Epiphanes memerintah Syria / Suriah (dari sekitar 175 SM hingga sekitar 164 SM). Antiochus juga memerintah atas Judea dan mencoba untuk menghancurkan agama Yahudi dengan cara mencemarkan Bait Allah dan membakar salinan Taurat. Hal ini menyebabkan pemberontakan Makabe yang membuka jalan bagi kemerdekaan Yahudi di Yerusalem dan daerah sekitarnya. Kemenangan ini diperingati selama חנוכה atau Chanukah.
Ketika kekaisaran Yunani mulai melemah, Romawi menyerang Syria (di bawah kepemimpinan Pompey) dan Yerusalem jatuh di bawah kekuasaan Romawi. Sebentar kemudian Yesus dilahirkan dan melakukan pelayanan-Nya di Israel. Beberapa tahun setelah Yesus disalibkan, Tentara Romawi (di bawah Titus) menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci Herodes (70 M), sehingga genap sudah seperti yang dinubuatkan Yesus (Matius 24 : 1-2). Kemudian pada tahun 135 M, Romawi (di bawah Hadrianus) menekan pemberontakkan Bar Kokhba, menghancurkan seluruh Yerusalem, dan mengirim semua orang Yahudi ke pengasingan. Dalam upaya untuk mengakhiri semua harapan orang Yahudi untuk sebuah negara merdeka, Hadrianus mengganti nama tanah Kanaan dari Judea menjadi Palestine, nama Palestine diambil dari musuh bersejarah Israel yaitu Filistin. Ini adalah awal גלות atau Galut (Diaspora Yahudi besar-besaran).
Pada akhir 1800-an gerakan Zionis dimulai di Eropa. Theodor Herzl, seorang wartawan dari Austria menulis buku yang berjudul der Judenstaat (Negara Yahudi) yang menyerukan pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai solusi untuk Diaspora. Herzl juga menyelenggarakan Kongres Zionis Dunia pertama, menyatukan beragam kelompok Zionis menjadi gerakan di seluruh dunia.
Selama Perang Dunia I, pasukan Inggris mengalahkan Turki (Turki Utsmani) dan berkuasa atas daerah yang disebut "Palestina". Berdasarkan Deklarasi Balfour, orang-orang Yahudi diizinkan untuk kembali menempati tanah leluhur mereka. Kemudian, Hitler menjadi teror di Jerman dalam peristiwa Holocaust - pembunuhan secara sistematis yang dilakukan oleh Nazi terhadap 6 juta orang Yahudi - menyebabkan dukungan seluruh dunia kepada orang-orang Yahudi untuk membangun kembali negara Israel sebagai tanah air permanen. Setelah imigrasi lebih lanjut ke Palestina, pada 14 Mei 1948, orang-orang Yahudi menyatakan kemerdekaan bagi negara demokratis Israel (Medinat Yisrael), sungguh sebuah keajaiban modern yang mengungkapkan perawatan takdir Allah bagi orang-orang Yahudi selama ribuan tahun. Kelahiran kembali bangsa Israel berarti bahwa setelah hampir 2.900 tahun (sejak zaman Raja Salomo) negara Israel telah kembali merdeka dan bersatu (Ulangan 30 : 2-5 & Mazmur 147 : 2 & Yehezkiel 11 : 17 & Yehezkiel 28 : 25 & Yehezkiel 34 : 13 & Yehezkiel 37 : 21). Namun beberapa jam setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, negara-negara Arab sekitarnya melancarkan invasi ke Israel. Israelpun selamat dan menang. Kemudian, pada tahun 1948 perang Arab-Israel, pasukan Israel merebut kembali tanah air mereka dan mencaplok beberapa tanah Arab disekitarnya, dan selama Perang Enam Hari tahun 1967, Israel merebut kembali kendali atas Yerusalem, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara (Mikha 7 : 11). Selama beberapa tahun terakhir, Intifadah dan kebangkitan Islam serta beberapa organisasi teroris bermotif religius yang ingin menyingkirkan Israel dari muka bumi seperti Hamas & Hizbullah dengan cara melakukkan aksi-aksi bom bunuh diri & menembakkan roket-roket ke wilayah Israel kembali mengancam bangsa Israel, meskipun dikeroyok dan dimusuhi oleh banyak negara-negara Arab, Israel sendiri mengaku tidak pernah takut kepada mereka sebab Tuhanlah yang selama ini telah menjaga Israel agar tetap eksis dan tidak punah (Mazmur pasal 121 & Maleakhi 3 : 6).

Definisi Gereja

Kata "gereja" tidak muncul dalam terjemahan bahasa Inggris dan Indonesia (baik perjanjian lama maupun perjanjian baru). Dalam terjemahan bahasa Yunani perjanjian lama (disebut juga Septuaginta atau LXX) menggunakan kata ekklesia (dari ek- + kaleo, ek = keluar + kaleo = memanggil) dan dalam bahasa Ibrani menggunakan kata קהל "qahal" dan עדה "'edah" (keduanya memiliki arti jemaat). LXX menggunakan kata συναγωγή artinya jemaat, untuk kata Ibrani 'edah biasanya diterjemahkan sebagai "pertemuan"
Ibrani
Yunani
Dalam pengertian perjanjian baru kata ekklesia mengacu pada kelompok orang-orang "yang dipanggil" untuk percaya kepada Yesus Kristus sebagai juruselamat. Secara khusus, ekklesia ini hanya terdiri dari orang-orang yang mengakui iman mereka bahwa Yesus tidak lain adalah Mesias, yang mati sebagai korban untuk menebus berdosa dosa-dosa mereka, dikuburkan, dibangkitkan oleh Allah dari kematian dan naik ke sorga.
Kalau dipahami secara historis, ekklesia yang disebutkan dalam perjanjian baru ini ternyata didirikan oleh seorang Yahudi yang taat Taurat yaitu Yesus (Galatia 4 : 4-5 & Roma 15 : 8). Pengikut pertama Yesus pada dasarnya banyak yang berasal dari orang Yahudi, baik rasul maupun penulis perjanjian baru. Maka dari itu gereja yang lahir di Yerusalem berasal dari kalangan orang Yahudi. Khotbah Petrus pada hari שבועות (yakni Shavu'ot atau Pentakosta atau Hari raya 7 minggu) banyak sekali mengutip dari para nabi dan Daud. Kemungkinan besar, bahwa 3.000 orang yang diselamatkan pada hari itu sudah pasti kebanyakkan adalah orang Yahudi (Kis 2 : 14-47). Cara hidup jemaat yang pertama ini sering berkumpul secara teratur di dalam בית המקדש atau Bait Allah (Kis 2 : 46). Perhatikan pula bahwa rasul Petrus dan Yohanes tercatat pergi ke Bait Allah untuk sembahyang pada siang hari (yakni מנחה / Mincha) (Kis. 3:1). Pelayanan para Rasul masih berlanjut secara eksklusif di antara orang-orang Yahudi, di antaranya "ribuan orang yang percaya dan bersemangat untuk Taurat" (Kis 21 : 20). Bahkan setelah mereka dipenjarakan, tetapi secara ajaib lolos, seorang malaikat mengatakan kepada mereka untuk "Pergilah, berdirilah di Bait Allah dan beritakanlah seluruh firman hidup itu kepada orang banyak." (Kis 5 : 17-21). Ketika Stefanus dipanggil oleh Imam Besar dan dewan, dia memberi pembelaan yang benar-benar Yahudi, yang meliputi seluruh sejarah Israel sebelum ia mati syahid (Kisah Para Rasul pasal 7).
Catatan :
Bahkan ketika Petrus berkunjung ke rumah Kornelius, seorang perwira pasukan Italia yang takut akan Tuhan (Kis 10), Petrus sempat mengalami krisis hati nurani, dalam visinya ia mengatakan bahwa ia tidak akan makan dari binatang yang diperlihatkan kepadanya (makanan non-kosher), dan kedua, ia ragu untuk memasuki rumah seorang non-Yahudi (Kis 10 : 28). Ini menunjukkan, bahwa Petrus adalah orang Yahudi.
Demikian juga Rasul Paulus adalah seorang Yahudi yang taat. Ia dilahirkan di Tarsus, namun dibesarkan di Yerusalem dan belajar di bawah Rabi yang terkenal Gamaliel (Kis. 22:3). Apakah Paulus yang Yahudi ini menolak gaya hidup Yahudi setelah pertobatannya di perjalanannya ke Damsyik (Kis pasal 9) ? Setidaknya, peristiwa berikut ini dapat menunjukkan seperti apa Paulus selama pelayanan-nya :
  • Paulus mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Yahudi, bahkan untuk hari penghakimannya. Dalam Kisah Para Rasul 23 : 6 ia mengaku, "Aku adalah seorang Farisi." Dia bahkan menyatakan bahwa mengenai pelaksanaan hukum Taurat dia "tidak bersalah", dan menunjukkan bahwa dia mentaati gaya hidup orang Yahudi (Filipi 3 : 5-6). Paulus bersaksi bahwa ia memelihara hukum Taurat sepanjang hidupnya (Kis 25:7-8, lihat juga Kis 28:17).
  • Paulus adalah orang yang menyuruh Timotius untuk sunat, Timotius adalah seorang Yunani blasteran Yahudi. Timotius disunat sebelum dibawa oleh Paulus pada sebuah perjalanan untuk membantu pelayanan di antara orang Yahudi (Kisah Para Rasul 16:1-3).
  • Paulus sering menghadiri rumah ibadat orang Yahudi. "Dia datang ke Tesalonika, di mana ada sebuah rumah ibadat orang Yahudi. Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci." (Kisah Para Rasul 17 : 1-3).
  • Paulus mengambil sumpah Nazirite atau Kenaziran (Kis 18:18; lihat juga Bil. 6:2-6,13-18).
  • Setelah meninggalkan Filipi (Kis 20 : 6) ia berlayar di sepanjang pantai Asia Kecil, berhenti di beberapa tempat di sepanjang jalan, tapi melewatkan Efesus karena ia ingin berada di Yerusalem untuk Perayaan Pentakosta (Kisah 20:16).
  • Paulus tidak setuju dengan gaya hidup / kelakuan Petrus (Galatia 2:11-14) tentang persyaratan orang kafir / tidak bersunat untuk masuk agama Yahudi.
Jadi, pada saat itu agama Kristen masih merupakan sebuah sekte kecil dari Yudaisme. Keretakan antara para pengikut Yesus dan Yudaisme rabinik mulai terlihat pada perang Yahudi-Romawi, yakni Pemberontakan Bar Kokhba (132-135 M). Rabi Yahudi yang bernama Akiva meyakinkan pihak Sanhedrin untuk mendukung pemberontakan dan benar-benar menganggap pemimpin pemberontakan (Simon Bar Kokhba) sebagai Mesias Yahudi. Sedangkan Yahudi pengikut Yesus tidak setuju (karena mereka meyakini bahwa Yesuslah Mesias sejati), inilah pemisah antara Yudaisme dan Gereja Yahudi awal.
Bersamaan dengan penolakan terhadap ekklesia Yesus oleh para pemimpin etnis Israel, justru malah semakin banyak bangsa-bangsa lain menjadi beriman dan datang kepada Yesus, dan akar Keyahudian Yesus mulai dilupakan. "Kelupaan" ini malah diperparah oleh berbagai macam orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa lain yang bukan berasal dari בן יעקב bani Yakub (Israel) yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani diawal-awal abad dan menganjurkan memutus ekklesia dari akar sejarah Yahudi. Kemudian "Gereja" non-Yahudi tersebut berupaya masuk menonjol sebagai entitas yang berbeda dari Israel, dengan misi dan tujuan sendiri. Meskipun demikian Gereja non-Yahudi yang sekarang masih mempunyai utang mengenai asal-usul Gereja kepada ekklesia Yahudi pengikut Yesus yakni Jewish Christians.

1. Replacement Theology (Theology Pengganti)

Pilihan teologis yang pertama mengenai hubungan antara Gereja non Yahudi dan Israel adalah untuk mengklaim bahwa "Gereja" dan "Israel" sebenarnya merujuk pada kelompok orang yang sama. Lebih khususnya, karena Israel menolak Yesus sebagai Mesias, maka ekklesia Yesus sekarang menerima semua perjanjian berkat dan janji-janji Allah. Ini adalah "Mindset" kebanyakan teolog Kristen pada hari ini.

Replacement Theology mengklaim bahwa Gereja adalah "baru dan lebih daripada" Israel, lebih baik daripada suku "versi" yang lebih tua yang dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Pada zaman dahulu "Gereja" (ekklesia, dari kata ek-+ kaleo) memang ditujukan kepada bangsa Israel, tetapi setelah kasih Yesus itu ditolak oleh orang Yahudi, maka Allah memindahkan seluruh perjanjian-perjanjian dan janji-janji-Nya dari Israel untuk Gereja Kristen. Bahwa "Perjanjian Baru" yang diberikan kepada Israel (Yeremia 31:31-37) telah digenapi melalui Gereja Kristen. Pandangan ini disebut "Replacement Theology" karena Gereja Kristen sekarang telah menggantikan bangsa Israel sebagai ekklesia sejati Allah. "Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel" (Roma 9:6). Karena ketidaktaatan Israel (yaitu, penolakan terhadap "perjanjian baru" dan Yesus), Israel tidak lagi menjadi "bangsa terpilih" dengan status khusus atau masa depan. Seperti Martin Luther mengatakan, karena orang-orang Yahudi menolak Kristus, satu-satunya yang tersisa untuk mereka adalah kutukan yang ditemukan dalam Alkitab, tapi tidak ada berkat. Oleh karena itu semua janji tentang Israel yang dikumpulkan lagi (Yehezkiel 28 : 25), dipulihkan, dan dibebaskan dari musuh-musuhnya di Kerajaan yang mendatang akan dipindahkan ke Gereja. Dan karena Yesus sekarang memerintah dari takhta Daud, misi Gereja adalah untuk mengantarkan Kerajaan Allah di bumi dengan cara penyebaran Injil di seluruh dunia. Pada akhir zaman, Yesus akan kembali untuk memisahkan "domba dari kambing" (Matius 25:32-33) dan kerajaan kekal Allah akan bertahan selamanya.
Harap dicatat bahwa salah satu konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa Gereja pada dasarnya bukan baru, karena sudah ada sebelum zaman Yesus sebagai kumpulan dari orang-orang kudus yang percaya kepada Allah Israel untuk keselamatan mereka (yaitu, sisa yang setia). Sejak itulah Gereja sebenarnya adalah semacam "reformasi" atau "pembaruan" dari Israel, atau mungkin akan lebih cocok untuk menganggap pandangan ini sebagai "Pembaharuan Teologi," karena mengacu bahwa Gereja adalah bentuk pembaruan dari Israel yang setia. Intinya adalah membawa kita pada kesimpulan bahwa Israel harus "kembali dicangkokkan" ke dalam pohon zaitun dari Gereja, bukan pemahaman yang sebaliknya bahwa Gereja non-Yahudi yang terdiri dari "tunas zaitun liar" dicangkokkan ke perjanjian yang diberikan kepada Israel (Rom . 11:17-23; Ef. 2:12).
Kasus pada Replacement Theology
Kasus untuk Replacement Theology sering dibuat sepanjang baris-baris berikut: "Israel" mengacu kepada semua orang yang mentaati Perjanjian Baru dari Yesus, yang dengan demikian disebut "anak-anak Abraham yang sejati" dan ahli waris menurut janji (Galatia 3:29) . Dalam istilah rohani, Gereja sekarang "Israel milik Allah" (Galatia 6:16) yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain dengan cara dilahirkan kembali oleh iman mereka kepada Yesus (Matius 3:9, Lukas 3:8 , Gal. 3:6, 9). Bangsa Israel sebenarnya hanyalah "benih" dari Gereja masa depan, yang pada akhirnya akan mengembalikan seluruh bumi di bawah kerajaan Allah yang akan datang (Maleakhi 1:11, Rm. 4:13). Gereja sekarang adalah wakil Allah di bumi (Galatia 3:29). Yesus sendiri mengajarkan bahwa orang-orang Yahudi akan kehilangan hak istimewa rohani mereka dan digantikan oleh "orang lain" (Matius 21:43). Kehadiran gereja pada hari pentakosta, menandakan bahwa urusan Allah dengan bangsa Israel "selesai", dan hari ini, seorang "Yahudi sejati" adalah seseorang yang dilahirkan dari Roh, apakah dia secara fisik lahir dari bangsa Yahudi atau tidak (Rm. 2:28 -29). Semua janji yang dibuat kepada Israel dalam Perjanjian Lama sekarang telah menjadi milik Gereja Yesus, yang sekarang (secara simbolis) memerintah di atas tahta Daud (2 Kor. 1:20).
Atau dalam bentuk yang lebih terus terang, Replacement Theology bersifat agresif dan bahkan dominionist dalam pandangan, karena menuduh bahwa gereja telah menggantikan Israel dalam arti rohani (teologis ini disebut "Supersessionism" yaitu, ide bahwa Israel telah "digantikan" oleh Gereja). Semenjak orang-orang Yahudi tidak lagi umat pilihan Allah dan Allah tidak memiliki rencana masa depan yang unik bagi bangsa Israel. Gereja, bukan Israel, Gereja sekarang menjadi "biji mata Allah" (Ulangan 32:10; Za. 2:8). Dengan kata lain, istilah "Israel" menunjukkan hanya mereka yang Kristen, dan sebaliknya hanya orang Kristen adalah pewaris perjanjian-perjanjian dan berkat-berkat yang diberikan kepada Abraham dan keturunannya. Singkatnya, Gereja adalah Israel dan Israel (dipahami secara rohani) adalah Gereja. Jika Israel tergantikan tentu saja Islam juga mengklaim bahwa mereka telah "menggantikan" Israel sebagai umat pilihan Allah di bumi.
Mungkin perlu dicatat di sini bahwa beberapa varietas teologi Yahudi juga membalas "Replacement Theology" Kristen dengan mempertahankan bahwa suatu hari Israel akan menang atas Gereja (dipahami secara kolektif sebagai "bangsa-bangsa lain," "Kristen," atau lebih umum sebagai keturunan berhala Esau). Menurut eskatologi Yahudi tersebut, dalam hari-hari Mashiach TUHAN akan menetapkan Yerusalem sebagai titik sentral di dunia, dan semua orang-orang Yahudi yang tersebar secara permanen akan dikembalikan ke Tanah leluhur mereka sesuai dengan yang Tuhan janjikan. Semua literal tentang janji-janji yang diberikan kepada Abraham, Ishak, Yakub, dan dikonfirmasi oleh nabi Yahudi akan benar-benar terpenuhi. Semua musuh kuno orang Yahudi (termasuk keturunan Esau) akan dikalahkan, dan Israel akan memasuki Zaman Keemasan damai di atas bumi (ini sering dirangkum oleh kelompok-kelompok ortodoks tertentu seperti Chabad dengan sebutan, "Moshiach !"). Selain itu "Replacement Theology" juga rawan menimbulkan sikap antisemitisme.

2. Separation Theology (Theology Pemisah)

Pilihan teologis yang kedua mengenai hubungan antara Gereja dan Israel adalah untuk mengklaim bahwa Gereja dan Israel merujuk kepada kelompok orang yang berbeda.

Gereja dipahami sebagai suatu ciptaan baru yang dimulai dengan munculnya רוח הקודש atau Ruach HaKodesh (Roh Kudus) selama Shavu'ot (Pentakosta), dan akan terus "berlanjut" sampai ke surga pada saat Pengangkatan. Gereja tidak berada di bawah kewajiban perjanjian yang diberikan kepada bangsa Israel di Sinai (yaitu, perjanjian Musa), yang mana perjanjian ini hanya diberikan kepada bangsa israel. Janji-janji yang dibuat untuk bangsa Israel merupakan kewajiban Israel, bukan kepada Gereja. Kata "Israel" selalu berarti Israel dalam Kitab Suci, sedangkan kata "Gereja" selalu mengacu kepada Gereja. Tidak ada satu kejadian di seluruh Alkitab di mana Israel merujuk pada apa pun selain orang-orang Yahudi.
Kritik Separation Theology adalah bahwa perbedaan tajam antara bangsa Israel dan Gereja mengimplikasikan bahwa ada tiga kelompok abadi orang yang berbeda di bumi yaitu: orang-orang Yahudi, orang-orang kafir, dan Gereja (yang terdiri dari orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain dan dibentuk menjadi "satu manusia baru"). Oleh karena itu, Yahudi hanya dianggap sebagai properti / status yang diawetkan selamanya. Kritik lainnya adalah bahwa karena mengabaikan konsep sisa Israel yang setia, ia cenderung mendorong Gereja untuk mengabaikan akar Yahudi, sejak Perjanjian, berkat, dan janji yang dibuat kepada bangsa Israel tidak dapat diterapkan secara langsung kepada Gereja. Dalam prakteknya ini dapat memiliki efek tanpa disadari meminimalkan relevansi Perjanjian Lama Kitab Suci. Selain itu Separation Theology juga berargumen bahwa umat Tuhan baik Gereja maupun Israel memiliki program keselamatan yang terpisah atau argumen ini kadang diilustrasikan oleh karikatur bahwa Gereja suatu hari akan mewarisi rumah-rumah di surga, sementara Israel akan mewarisi bumi. Ini tidak adil untuk beberapa alasan, tapi Theology ini masih percaya bahwa bangsa Israel akan suatu hari datang kepada iman yang menyelamatkan di dalam Mesias ketika ia berseru "Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!" (Matius 23 : 37-39, Lukas 13 : 35). Lalu nubuat dari perjanjian baru bangsa Israel akan digenapi (Yeremia 31 : 31-37) dan "Seluruh Israel akan diselamatkan" (Roma 11 : 25-26).

3. Remnant Theology (Theology Sisa)

Pilihan teologis yang ketiga mengenai hubungan antara Gereja dan Israel adalah untuk mengklaim bahwa Gereja dan Israel "tumpang tindih" dalam beberapa cara. Dalam Replacement Theology (Teologi Pengganti), Gereja dikatakan menggantikan Israel dan Israel ditinggalkan tanpa penebusan tanpa masa depan. Dalam Separation Theology (Teologi Pemisah), ada perbedaan antara Israel dan Gereja, tetapi ada beberapa pertanyaan tentang bagaimana dua kelompok ini akan berinteraksi. maka dari itu Remnant Theology (Teologi Sisa) berupaya untuk menengahi posisi tersebut dengan memahami Gereja untuk menjadi bagian dari bangsa Israel yang setia dan menerima Yesus Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan. Iman dari bangsa Israel yang masih setia ini disebut Remnant (Sisa) atau "Israel milik Allah" (Galatia 6 : 16):

שארית ישראל (She'arit Yisra'el - Sisa dari Israel)

Alkitab membuat perbedaan antara etnis Yahudi (yaitu, seorang yang lahir Yahudi) dan yang satu dianggap sebagai anggota She'arit Yisrael, sisa Israel yang setia. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

Seperti dapat dilihat dari diagram ini, seseorang dapat menjadi :
  1. di luar hubungan dengan Israel (yaitu, seorang kafir)
  2. dalam etnis Israel berdasarkan kelahiran (keturunan Yahudi asli) atau
  3. dalam kedua etnis israel (yaitu, keturunan Yahudi asli) dan bagian dari sisa yang setia (sebagai seorang Yahudi yang percaya kepada Allah Israel).
(Logikanya, akan ada pilihan keempat di sini yang akan dibahas di bawah). Perbedaan ini penting karena ada banyak orang yang terlalu menyederhanakan masalah dan membingungkan etnis Israel dengan "sisa Israel yang dipilih oleh kasih karunia Allah" (Roma 11 : 5).
Para Sisa Israel adalah seorang yang dipilih dari etnis Israel yang telah setia dan dipelihara oleh TUHAN selama berabad-abad. Keberadaannya dibuktikan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama seperti yang terlihat dalam kasus-kasus berikut:
  • Ishak dipilih atas Ismail (Kejadian 17 : 19)
  • Yakub dipilih atas Esau (Kejadian 28 : 13-15)
  • Yusuf dipilih atas saudara-saudaranya yang lain (Kejadian 45 : 7)
  • Israel dipilih sebagai bangsa pilihan di Sinai dan sisa ini dipelihara setelah berdosa dengan anak lembu emas (Keluaran 32)
  • Kaleb dan Yosua dipilih di antara semua orang dari generasi yang di padang gurun untuk memasuki Tanah Perjanjian (Bilangan 14 : 38)
  • Elia diberi tahu bahwa Allah menyediakan / mengawetkan 7.000 sisa yang masih setia selama kemurtadan nasional (1 Raja-raja 19 : 18)
  • Yehezkiel diberitahu bahwa sisa akan dilestarikan dari kerajaan utara setelah penawanan mereka (Yehezkiel 37:19)
  • Orang buangan yang kembali dari Babel adalah orang yang dipilih (Zakharia pasal 8)
Hal ini dibuktikan lebih lanjut dalam Perjanjian Baru:
  • Allah memilih sisa Israel untuk menerima Mesias (Roma 11 : 5)
  • Setelah Bait Allah dihancurkan oleh Romawi, Tuhan masih melestarikan / memelihara sisa Israel yang terus sampai hari ini.
  • Paulus berbicara tentang sisa Israel yang dipilih oleh anugerah Allah (Roma 2 : 28-29 ; 9 : 27 ; 11 : 5) dan seorang "Manusia Baru" yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain yang dicangkokkan(Efesus 2 : 15).
Sangat penting untuk menyadari bahwa Remnant Theology memahami bahwa Gereja "dicangkokkan ke dalam" atau "ditempatkan" pada sisa-sisa Israel, dan bukan sebaliknya.

Perbedaan inilah yang penting, sebab gereja hanyalah cabang-cabang yang dicangkokkan ke dalam pohon zaitun sementara akar (sisa-sisa Israel) adalah yang menopang Gereja (Roma 11 : 18). Sementara itu hanya beberapa saja etnis Yahudi yang termasuk bagian dari sisa yang setia, semua bangsa-bangsa lain yang diselamatkan secara rohani bisa juga disebut Yahudi / Israel (Rm. 2:29; Rm. 4:16; Ef. 2:12-19), karena memiliki hak untuk mengambil bagian dalam perjanjian berkat-berkat yang diberikan untuk sisa Israel. Tetapi sangat penting untuk memahami bahwa Gereja adalah dicangkokkan / dimasukkan ke dalam sisa Israel yang dipilih, dan bukan sebaliknya! Dengan kata lain, seorang Yahudi tidak perlu memungkiri Keyahudiannya untuk menjadi anggota Gereja.
Dengan perbedaan ini, kita dapat menyelesaikan diagram yang mengungkapkan kemungkinan logis antara etnis Israel dan Chosen Remnant (Sisa yang terpilih) :

Seseorang bisa
  1. di luar hubungan dengan Israel (yaitu, seorang kafir)
  2. dalam etnis Israel berdasarkan kelahiran (keturunan Yahudi asli)
  3. dalam kedua etnis israel (yaitu, keturunan Yahudi asli) dan bagian dari sisa yang setia (sebagai seorang Yahudi yang percaya kepada Allah Israel) atau
  4. seorang kafir yang mengambil bagian dari berkat-berkat yang diberikan kepada sisa Israel yang setia.

Pohon Zaitun dan Sisa Yang Dipilih Oleh Anugerah

Pernyataan Paulus bahwa "tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel" (Roma 9 : 6) berarti bahwa seseorang bisa menjadi etnis keturunan Israel, tetapi bukan menjadi bagian dari sisa Israel yang telah dipilih oleh Tuhan untuk Selamat di dalam Mesias. Dalam Roma 9:1-31, Paulus mengungkapkan keinginan hatinya untuk melihat seluruh Israel datang memahami kebenaran keselamatan seperti yang diberikan melalui Yesus, walaupun dia secara khusus menyebutkan bahwa sisa yang setia selalu ada.
Kemudian Paulus secara eksplisit menanyakan pertanyaan apakah urusan Tuhan telah "selesai" dengan etnis Israel, kemudian dia sendiri menjawab:
"Maka aku bertanya: Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali-kali tidak! Karena aku sendiripun orang Israel, dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin. Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya. Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah: "Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." Tetapi bagaimanakah firman Allah kepadanya? "Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal." Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia". (Roma 11:1-5)
Paulus memberikan analogi dari Pohon Zaitun untuk menggambarkan bagaimana Gereja dicangkokkan ke sisa-sisa Israel. Cabang alami yang terputus mewakili bangsa Israel yang tidak percaya, sementara "tunas zaitun liar" dicangkokkan di antara yang lain mewakili bangsa-bangsa lain yang datang kepada iman di dalam sang Mesias. Tapi perhatikan kata, "di antara yang lain" Cabang-cabang yang tersisa ini merupakan sisa Israel, yang tidak pernah dipisahkan dari akar yang mendukung (yang mewakili perjanjian janji-janji yang diberikan kepada para bapa bangsa Israel - Abraham, Ishak, Yakub - seperti yang diberikan oleh TUHAN). Metafora ini dengan jelas menunjukkan bahwa tunas zaitun liar (bangsa-bangsa lain yang percaya) ditempatkan di dalam cabang-cabang yang tersisa di pohon (Yahudi yang percaya). yakni Pohon Zaitun, dengan kata lain, gambaran perjanjian program penyelamatan Allah berdasarkan atas kesetiaan-Nya kepada Israel.
Paulus juga menyatakan bahwa pemulihan cabang yang patah masih berada dalam kekuasaan dan tujuan utama Allah (Rm. 11:23-24), sementara itu bangsa Israel "masih mengeras" sampai semua "tunas zaitun liar" telah dicangkokkan ke Pohon Zaitun (11:25), dan kemudian "seluruh Israel akan diselamatkan"(11:26).
Ternyata benar bahwa bangsa Israel telah menolak Mesias yang dijanjikan kepada mereka (suatu "pengerasan parsial Israel" - Rom. 11:25), Paulus menghibur dirinya dengan mencerminkan bahwa tidak semua keturunan Abraham yang secara fisik akan mewarisi perjanjian dari berkat-berkat yang TUHAN berikan. Abraham mempunyai dua anak laki-laki, yang dipilih adalah Ishak (bukan Ismail); dan Ishak juga mempunyai dua anak laki-laki, yaitu yang dipilih adalah Yakub (bukan Esau). Dengan kata lain, walaupun Ismail dan Esau adalah keturunan fisik Abraham, mereka tidak terpilih untuk menjadi pewaris dari berkat Allah. (Roma 9 : 6-8)
Memang, mengenai kasus Yakub dan Esau, Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa "meskipun mereka belum dilahirkan dan belum melakukan apa pun yang baik atau buruk - supaya rencana Allah diteguhkan mengenai pemilihan, bukan karena perbuatan, tetapi karena panggilan-Nya (Roma 9 : 11), dikatakan kepada Ribka, "yang lebih tua akan menjadi hamba yang lebih muda." Paulus kemudian mengutip dari Maleakhi 1 : 2-3, "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau."
Paulus kemudian bertanya apakah Allah tidak adil. Paulus menjawab hal ini dengan tegas mengatakan bahwa TUHAN, Allah Israel berdaulat dan dapat memilih untuk menunjukkan rahmat dan karunia kepada siapa yang dikehendaki dan Dia kehendaki. Dengan kata lain, Allah memiliki hak untuk menentukan lebih dulu hasil sesuai dengan tujuan baik-Nya, dan umat manusia hanya menerima aturan-Nya di alam semesta.
Menjadi keturunan Abraham secara fisik tidaklah cukup untuk menjadi bagian dari keluarga Allah, karena hanya anak-anak dari janji yang dihitung sebagai pilihan Tuhan. Dan bahkan termasuk bangsa-bangsa lain, sebagaimana nabi Hosea ungkapkan: "mereka yang bukan umat-Ku akan Kusebut umat-Ku" (Roma 9 : 25-27 & Hosea 1:10). Dan nabi Yesaya juga berseru tentang Israel: "Sekalipun jumlah anak Israel akan seperti pasir di laut, namun hanya sisa-sisa dari mereka akan diselamatkan"
Paulus mengakhiri garis pemikiran ini dengan mengatakan bahwa mereka yang percaya dalam janji keselamatan Allah melalui Mesias telah mencapai kebenaran karena iman, tetapi orang-orang yang mengejar kebenaran mereka sendiri berdasarkan hukum tidak akan pernah berhasil mencapai tujuan itu (Roma 9 : 30-31), karena Yesus sendiri adalah "akhir dari hukum untuk kebenaran" untuk semua orang yang percaya.

Ringkasan dan Kesimpulan

Untuk saat ini hanya ada 3 pilihan dasar teologis mengenai hubungan antara Gereja dan Israel yakni : Replacement Theology, Separation Theology, dan Remnant Theology.
Separation Theology (Teologi Pemisah), dengan keras membedakan bangsa Israel dengan Gereja, menyiratkan bahwa ada tiga kelompok masyarakat yang berbeda di bumi yakni: orang-orang Yahudi, orang-orang kafir, dan Gereja (yang terdiri orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain dan dibentuk menjadi "satu manusia baru "). Oleh karena itu, Yahudi dianggap sebagai properti / status yang diawetkan selamanya, maka dari itu status seorang Yahudi yang juga anggota Gereja tersebut dikaburkan. Separation Theology juga membuat Gereja relatif acuh tak acuh terhadap status bangsa Israel dalam zaman sekarang ini, sejak Perjanjian, berkat, dan janji yang dibuat kepada bangsa Israel tidak dapat diterapkan secara langsung kepada Gereja. Dalam prakteknya ini dapat memiliki efek tanpa disadari meminimalkan relevansi Perjanjian Lama Kitab Suci.

Sejak Replacement Theology didasarkan pada pandangan Supersessionism , konsep Gereja mengambil prioritas di atas suku Israel, dan mengklaim bahwa Gereja menggantikan bangsa Israel dalam bentuk sisa yang percaya. Setelah Yesus datang, hanya orang-orang Yahudi yang masuk agama Kristen adalah sah "Israel milik Allah." Di sisi lain Remnant Theology, memahami bahwa Gereja adalah ciptaan baru yang dicangkokkan ke dalam perjanjian-perjanjian dan berkat-berkat yang diberikan kepada She'arit Yisrael (Sisa Israel) :

Seperti yang Anda lihat, perbedaan-perbedaan mengenai identitas sisa mengarah ke interpretasi yang berbeda mengenai identitas Gereja.
Jika sisa Israel dianggap sebagai "Gereja", maka Penggantian / Replacemant Theology akan tampak menarik. Namun, jelas bahwa ekklesia Yesus adalah sesuatu yang "melebihi dan di atas" sisa Israel (She'arit Yisrael), dan sebagian besar teolog Replacement tidak berusaha untuk menerjemahkan kata ekklesia (sebagaimana ditemukan di dalam LXX) secara harfiah merujuk kepada "Gereja" yang Paulus tulis dalam surat-suratnya. Memang, fakta yang menyedihkan bahwa sebagian besar teolog ini menggunakan terjemahan Yunani dari Tanakh, daripada memeriksa teks yang Ibrani asli, sehingga dalam Perjanjian Baru penggunaan kata "ekklesia" berarti "Gereja" dalam Alkitab bahasa Indonesia kita.
Jika Israel digantikan oleh Gereja (Replacement Theology / Teologi Pengganti) sebagai "sebagai umat pilihan Allah di bumi" tentu saja Islam juga mengklaim bahwa mereka telah "menggantikan" Israel sebagai umat pilihan Allah di bumi, inilah yang masih menjadi permasalahan, maka jelas bahwa Remnant Theology adalah yang paling akurat dari pandangan-pandangan ini. Satu konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa orang Kristen bukan Yahudi harus kembali ke akar Yahudi dari iman mereka dan menunjukkan kasih dan penghargaan mereka untuk Israel.
Metafora pohon zaitun menunjukkan dengan jelas bahwa Gereja memang dimasukkan / dicangkokkan ke dalam sisa Israel. Gereja non Yahudi harus bertobat terkait dengan sikap arogan terhadap orang-orang Yahudi dan mengungkapkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah untuk pelestarian yang ajaib kepada mereka selama berabad-abad. Selain itu, Gereja non Yahudi harus berdiri dengan bangsa Israel dengan mempertimbangkan mereka sebagai "saudara-saudara," yaitu, mereka yang mengambil bagian dalam TUHAN Yesus Kristus. Karena "karunia dan panggilan Allah tidak dapat dibatalkan" (Roma 11:29), dan jika Israel menolak berarti perdamaian bagi dunia (Roma 11 : 13-15).
Rencana TUHAN yang menyeluruh adalah untuk menebus orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain melalui perjanjian tanpa syarat dan janji-janji yang diberikan kepada leluhur bangsa Israel. Gereja non Yahudi bukan menggantikan Israel (Replacement Theology); juga tidak berada di luar Israel (Separation Theology); tetapi lebih dimasukkan / dicangkokkan dalam sisa Israel yang setia (Remnant Theology).

Sumber: http://yisreh.byethost31.com/