Jumat, 29 Juli 2011

Memandang Kehidupan Dari Sudut Pandang Allah

Memandang Kehidupan Dari Sudut Pandang Allah


1.      Pendahuluan
Cara saudara memandang kehidupan akan membentuk kehidupan saudara.
Bagaimana saudara mendefinisikan kehidupan menentukan masa depan saudara. Perspektif saudara akan mempengaruhi cara saudara memanfaatkan waktu saudara, membelanjakan uang saudara, menggunakan talenta saudara, dan menilai hubungan saudara.
Salah satu cara terbaik untuk memahami orang lain adalah menanyakan mereka, “bagaimana saudara memandang kehidupan saudara?” Saudara akan menemukan bahwa ada banyak jawaban yang berbeda untuk pertanyaan tersebut sebanyak jumlah orang yang ditanyai.  Saya pernah diberi tahu bahwa kehidupan adalah bagaikan sebuah sirkus, sebuah daerah ranjau,  sebuah roller coaster, sebuah teka-teki,  sebuah simfoni, sebuah perjalanan, dan sebuah tarian. Orang-orang berkata, “ kehidupan bagaikan roda: kadang-kadang saudara di atas, kadang saudara di bawah, dan kadang saudara hanya berputar-putar” atau “kehidupan bagaikan sepeda dengan kecepatan 10 dengan persneling yang tidak pernah kita pakai” atau “kehidupan bagaikan permainan kartu: saudara harus memainkan kartu yang dibagikan kepada saudara”.
Jika saya bertanya bagaimana saudara menggambarkan kehidupan, gambar apa yang muncul di benak saudara. Gambar tersebut adalah metafora kehidupan saudara. Itulah pandangan tentang kehidupan yang saudara pegang secara sadar atau tidak sadar, dalam pikiran saudara. Itulah gambaran saudara tentang bagaimana kehidupan berjalan dan apa yang saudara harapkan dari kehidupan itu. Orang-orang sering kali menunjukkan metafora kehidupan mereka melalui pakaian, perhiasan, mobil, potongan rambut, tempelan stiker di bemper, bahkan tato.
Metafora kehidupan saudara yang tidak diucapkan mempengaruhi kehidupan saudara lebih dari yang saudara sadari. Ini menentukan harapan-harapan saudara, nilai-nilai saudara, hubungan-hubungan saudara, sasaran-sasaran saudara, dan prioritas-prioritas saudara. Contohnya, jika saudara menganggap kehidupan adalah sebuah pesta, nilai utama saudara di dalam kehidupan adalah bersenang-senang. Jika saudara melihat kehidupan sebagai suatu balapan, saudara akan menghargai kecepatan dan mungkin akan sering kali berada dalam ketergesa-gesaan. Jika saudara memandang kehidupan sebagai suatu pertandingan lari maraton, saudara akan menghargai ketekunan. Jika saudara memandang kehidupan sebagai sebuah pertempuran atau permainan, menang akan menjadi sangat penting bagi saudara.
Bagaimana pandangan saudara tentang kehidupan? Saudara mungkin mendasarkan kehidupan saudara pada suatu metafora kehidupan yang keliru. Untuk memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan saudara, saudara akan harus menantang pandangan umum dan menggantikannya dengan metafora Alkitab tentang kehidupan. Alkitab berkata. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2)

2.      Metafora Kehidupan Menurut Alkitab
Alkitab memberikan tiga metafora yang mengajarkan kepada kita pandangan Allah tentang kehidupan: kehidupan adalah sebuah ujian, kehidupan adalah sebuah kepercayaan, dan kehidupan adalah sebuah penugasan sementara. Pemikiran-pemikiran ini merupakan dasar dari kehidupan yang memiliki tujuan.

a.       Kehidupan di Bumi adalah sebuah Ujian
Metafora kehidupan yang ini terlihat dalam kisah-kisah di seluruh Alkitab. Allah terus-menerus menguji karakter, iman, ketaatan, kasih, integritas, dan kesetiaan manusia. Kata-kata seperti pencobaan, pemurnian, dan ujian muncul lebih dari 200 kali dalam Alkitab. Allah menguji Abraham dengan menyuruhnya mempersembahkan anaknya Ishak. Allah menguji Yakub ketika dia harus bekerja beberapa tahun tambahan untuk mendapatkan Rahel sebagai isterinya.
Adam dan Hawa gagal dalam ujian mereka di Taman Eden, dan Daud gagal dalam ujiannya yang diberi Allah pada beberapa peristiwa. Tetapi Alkitab juga memberi kita banyak teladan dari orang-orang yang lulus dalam ujian besar, seperti Yusuf, Rut, Ested dan Daniel.
Karakter dikembangkan dan ditunjukkan melalui ujian-ujian, dan seluruh kehidupan adalah ujian. Saudara selalu diuji. Allah terus-menerus mengamati tanggapan saudara pada orang-orang, pada masalah, pada kebersihan, pada konflik, pada penyakit, pada kekecewaan, dan bahkan pada cuaca! Allah bahkan mengamati tindakan-tindakan yang paling sederhana seperti ketika saudara membuka pintu untuk orang lain, ketika saudara mengangkat sepotong sampah, atau ketika saudara bersikap sopan terhadap seorang juru tulis atau pelayan.
Kita tidak tahu semua ujian yang akan Allah berikan kepada anda, tetapi kita bisa memperkirakan sebagian berdasarkan Alkitab. Anda akan diuji melalui perubahan-perubahan besar, janji-janji yang tertunda, masalah-masalah yang sulit, doa-doa yang tidak terjawab, kritikan-kritikan yang tidak layak diterima, dan bahkan tragedi-tragedi yang tidak masuk akal. Dalam kehidupan saya sendiri saya melihat bahwa Allah menguji iman saya melalui masalah-masalah, doa-doa yang belum dijawab oleh Tuhan, menguji pengharapan saya melalui cara saya menangani harta, dan menguji kasih saya melalui orang-orang.
Ujian yang sangat penting adalah bagaimana saudara bertindak ketika saudara tidak bisa merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan saudara. Kadang-kadang Allah dengan sengaja mundur, dan kita tidak merasakan kedekatan-Nya. Seorang raja bernama Hizkia mengalami ujian ini. Alkitab berkata, “Allah meninggalkan dia untuk mencobainya, supaya diketahui segala isi hatinya” (2 Tawarikh 32:31). Hizkia telah menikmati suatu persekutuan yang dekat dengan Allah, tetapi pada titik penting dalam kehidupannya Allah meninggalkannya sendiri untuk menguji karakternya, untuk menunjukkan kelemahannya, dan untuk mempersiapkan dia guna menghadapi tanggung jawab yang lebih besar.
Ketika saudara memahami bahwa kehidupan adalah ujian, saudara menyadari bahwa tidak ada hal yang tidak penting di dalam kehidupan saudara. Bahkan kejadian terkecil memiliki arti penting bagi pengembangan karakter saudara. Tiap hari merupakan hari yang penting, dan setiap detik adalah kesempatan bertumbuh untuk memperdalam karakter saudara, untuk menunjukkan kasih, atau untuk bergantung kepada Allah. Beberapa ujian terasa sangat berat, sementara ujian lainnya bahkan tidak saudara perhatikan. Tetapi semuanya memiliki makna kekal.
Kabar baiknya adalah bahwa Allah ingin agar saudara lulus dalam ujian-ujian kehidpan itu, sehingga Dia tidak pernah membiarkan ujian-ujian yang saudara hadapi itu melampaui kasih karunia yang Dia berikan kepada saudara untuk menghadapinya. Alkitab berkata, “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (I Kor 10:13). Setiap kali saudara lulus dalam sebuah ujian, Allah melihat dan membuat rencana untuk memberi saudara upah di dalam kekekalan. Yakobus berkata, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12).

b.      Kehidupan di Bumi adalah Sebuah Kepercayaan
Inilah metafora jenis kedua dalam Alkitab tentang kehidupan. Waktu yang kita miliki di bumi serta tenaga, kepandaian, kesempatan, hubungan dan kekayaan kita, semuanya adalah pemberian dari Allah yang telah Dia percayakan dalam pemeliharaan dan pengelolaan kita. Kitalah penatalayan dari segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita. Konsep penatalayanan ini dimulai dengan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu dan semua orang di muka bumi. Alkitab berkata, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam didalamnya” (Mzm 24:1).
Kita tidak pernah benar-benar memiliki apapun selama kediaman singkat kita di bumi. Allah hanya meminjamkan bumi kepada kita pada waktu kita ada di sini. Bumi adalah milik Allah sebelum saudara dan saya datang, dan Allah akan meminjamkannya kembali kepada orang lain setelah saudara dan saya meninggal. Saudara hanya bisa menikmatinya sesaat.
Ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, Dia mempercayakan pemeliharaan atas ciptaan-Nya kepada mereka dan menunjuk mereka sebagai pengelola atas milik-Nya. Alkitab berkata, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1:28).
Pekerjaan pertama yang Allah berikan kepada manusia adalah mengelola dan memelihara “barang-barang” Allah di bumi. Peran ini tidak pernah dibatalkan. Ini merupakan sebagian dari tujuan kita sekarang. Segala sesuatu yang kita nikmati harus diperlakukan sebagai sebuah kepercayaan yang Allah tempatkan di dalam tangan kita. Alkitab berkata, “Bukankah segala sesuatu saudara terima dari Allah? Jadi, mengapa kamu menyombongkan diri, seolah-olah apa yang ada pada saudara itu bukan sesuatu yang diberi?” (1 Kor 4:7b, BIS).
Rick Warren bercerita:
Bertahun-tahun yang lalu, sepasang suami-isteri mengizinkan saya dan isteri saya menggunakan rumah mereka yang indah di depan pantai di Hawai untuk berlibur. Inilah suatu pengalaman yang tidak pernah mampu kami beli, dan kami sangat menikmatinya. Kami diberi tahu, “gunakan rumah itu seperti rumahmu sendiri,” jadi kami melakukannya! Kami berenang di kolam, memakan makanan di kulkas, memakai handuk-handuk kamar mandi dan peralatan makanan, dan bahkan melompat-lompat di tempat tidur dengan kegirangan! Tetapi kami tahun sejak semula bahwa itu bukan benar-benar miliki kami, sehingga kami memberikan perawatan khusus terhadap segala sesuatu. Kami menikmati keuntungan menggunakan rumah tersebut tanpa memilikinya.
Budaya kita berkata, “jika kamu tidak memilikinya, kamu tidak akan mempedulikannya”. Tetapi orang-orang Kristen hidup dengan standar yang lebih tinggi: “Karena Allah memilikinya, saya harus memeliharanya sebaik mungkin”. Alkitab mengatakan, “Orang-orang yang kepada mereka dipercayakan sesuatu yang berharga harus menunjukkan bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor 4:2, NCV=New Century Version). Yesus sering kali menunjukkan kehidupan sebagai sebuah kepercayaan dan menceritakan banyak kisah untuk menggambarkan tanggung jawab ini kepada Allah. Dalam kisah tentang talenta (Mat 25: 14-29), seorang pengusaha mempercayakan kekayaanya kepada pemeliharaan hamba-hambanya sementara dia pergi. Ketika dia kembali, dia mengevaluasi tanggung jawab setiap hambanya dan memberi mereka upah atas itu. Sang pemilik berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu”.
Pada masa akhir kehidupan saudara di dunia, saudara akan di evaluasi dan diberi upah sesuai dengan seberapa baik saudara telah mengurus apa yang Allah percayakan kepada saudara. Ini berarti segala sesuatu yang saudara kerjakan, bahkan tugas-tugas harian yang sederhana, memiliki implikasi kekal. Jika saudara memperlakukan segala sesuatu sebagai suatu kepercayaan, Allah menjanjikan tiga berkat dalam kekekalan. Pertama, saudara akan diberikan peneguhan Allah: Dia berkata, “Baik sebali perbuatanmu”! Berikutnya, saudara akan menerima promosi dan diberi tanggung jawab yang lebih besar di dalam kekekalan: “Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang lebih besar”. Kemudian saudara akan dihormati dengan suatu perayaan: “masuklah dan turutlah dalam kebagahiaan tuanmu”.
Banyak orang gagal menyadari bahwa uang merupakan sebuah ujian sekaligus sebuah kepercayaan dari Allah. Allah menggunakan keuangan untuk mengajar kita mempercayai-Nya, dan bagi banyak orang, uang adalah ujian terbesar. Allah melihat bagaimana kita menggunakan uang untuk menguji bagaimana kita layak dipercayai. Alkitab berkata, “Jadi, kalau mengenai kekayaan dunia ini kalian sudah tidak dapat dipercayai, siapa mau mempercayakan kepadamu kekayaan rohani?” (Luk 16:11, BIS).
Inilah kebenaran yang sangat penting. Allah mengajarkan bahwa ada hubungan lansung antara cara saya menggunakan uang saya dengan kualitas kehidupan rohani saya. Bagaiman saya mengelola uang saya (kekayaan dunia) menentukan seberapa banyak Allah bisa mempercayai saya dengan berkat-berkat rohani (kekayaan rohani). Izinkan saya bertanya kepada saudara: Apakah cara saudara mengelola uang saudara menghalangi Allah melakukan lebih banyak hal di dalam kehidupan saudara? Bisakah saudara dipercayai dengan kekayaan-keyaan rohani?
Yesus berkata, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (Luk 12:48b). Kehidupan merupakan ujian dan kepercayaan, dan semakin banyak Allah memberi kepada saudara, semakin banyak tanggung jawab yang Dia harapkan dari saudara.


c.       Kehidupan adalah Suatu Penugasan Sementara
Kehidupan di bumi adalah suatu penugasan sementara. Alkitab penuh dengan metafora yang mengajarkan tentang sifat kehidupan di bumi, yaitu bersifat singkat, sementara, dan fana. Kehidupan digambarkan seperti kabut, pelari cepat, nafas,  dan  segumpal asap. Alkitab berkata, sebab kita, anak-anak kemarin…… hari-hari kita seperti bayang-bayang di bumi” (Ayub 8:9).
Untuk memanfaatkan kehidupan saudara secara maksimal, saudara jangan pernah melupakan dua kebenaran: Pertama, dibandingkan dengan kekekalan, kehidupan amatlah singkat. Kedua, bumi hanyalah tempat kediaman sementara. Saudara tidak akan lama berada di sini, jadi jangan terlalu terikat pada bumi. Mintalah agar Allah membantu saudara melihat kehidupan di bumi sebagaimana Dia melihatnya. Daud berdoa, “Tuhan, tolong aku untuk menyadari betapa singkatnya hidupku di dunia ini! Tolong aku untuk mengetahui bahwa waktuku di sini hampir habis!” (Mzm 39:4 FAYH).
Berulang-ulang Alkitab membandingkan kehidupan di bumi dengan kehidupan sementara di sebuah negeri asing. Bumi bukanlah rumah tetap atau tujuan akhir saudara. Saudara hanya lewat, hanya berkunjung ke bumi. Alkitab menggunakan istilah-istilah seperti orang asing, peziarah, pendatang, pengunjung, dan musafir untuk menggambarkan kediaman kita yang singkat di bumi. Daud berkata, “Aku ini orang asing di dunia” (Mzm 119:19) dan Petrus menjelaskan, “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, … maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” (1 Pet 1:17).
Para expatriat yang datang dari berbagai negara dan bekerja di Indonesia, mereka tinggal di Indonesia, tetapi mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka semula. Mereka diwajibkan untuk membawa kartu pendaftaran pengunjung (green card/ visa), yang memungkinkan mereka bekerja di sini sekalipun mereka bukan warga negara. Orang-orang Kristen seharusnya membawa green card rohani untuk mengingatkan kita bahwa kewarganegaraan kita adalah di sorga. Allah berkata bahwa anak-anak-Nya harus berpikir tentang kehidupan secara berbeda dengan orang-orang yang tidak percaya. “Yang mereka pikirkan hanyalah kehidupan di dunia ini. Padahal tanah air kita ialah surga, yaitu bersama dengan Juruselamat kita Tuhan Yesus Kristus” (Flp 3: 19,20 FAYH). Orang-orang percaya sejati memahami bahwa kehidupan memiliki nilai jauh lebih besar daripada sekadar beberapa tahun hidup kita di planet ini.
Identitas saudara ada di dalam kekekalan, dan tanah air saudara adalah surga. Bila saudara memahami kebenaran ini, saudara akan berhenti cemas memikirkan soal “memiliki semuanya” di bumi. Allah berbicara dengan sangat jelas tentang bahayanya jika kita hidup demi waktu sekarang dan jika kita memakai nilai-nilai, prioritas-prioritas, dan gaya hidup dunia sekeliling kita. Bila kita bermain-main dengan pencobaan-pencobaan dunia ini, Allah menyebutnya perzinahan rohani. Alkitab berkata, “Kamu tidak setia kepada Allah. Jika kamu hanya mau mengikuti kehendakmu sendiri, bermain-main dengan dunia setiap ada kesempatan, maka kamu akhirnya menjadi musuh Allah dan orang yang melawan kehendaknya” (Yakobus 4:4, Msg = The Message).
Bayangkan jika saudara diminta oleh negara saudara untuk menjadi duta besar di sebuah negara musuh. Saudara mungkin harus belajar bahasa yang baru dan menyesuaikan diri dengan beberapa kebiasaan dan perbedaan budaya agar bisa berlaku sopan dan bisa menyelesaikan misi saudara. Sebagai seorang duta besar, saudara tidak akan mampu mengisolasi diri dari musuh. Untuk menyelesaikan misi saudara, saudara tentu harus memiliki kontak dan berhubungan dengan mereka.
Tetapi seandainya saudara menjadi begitu nyaman dengan negara asing ini sehingga saudara jatuh cinta padanya, dan lebih menyukainya ketimbang tanah air saudara. Kesetiaan dan komitmen saudara akan berubah. Peran saudara sebagai seorang duta besar akan membahayakan. Bukannya mewakili negara asal saudara, saudara akan mulai bertindak seperti musuh. Saudara akan menjadi pengkhianat.
Alkitab berkata, “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus (2 Kor 5:20). Yang menyedihkan, banyak orang Kristen telah mengkhianati Raja mereka dan kerajaan-Nya. Mereka dengan bodohnya menyimpulkan bahwa karena mereka hidup di bumi, maka bumilah rumah mereka. Padahal bukan. Alkitab dengan jelas berkata: “Saudara-saudaraku, dunia ini bukan rumahmu, karena itu jangan membuat dirimu betah didalamnya. Jangan menurutkan keinginanmu sendiri dengan mengorbankan nyawamu” (1 Pet 2:11  Msg). Allah memperingatkan kita untuk tidak terlalu terikat pada apa yang ada di sekeliling kita karena semua itu bersifat sementara. Kita diberi tahu, “Pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1 Kor 7:31).
Dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya, kehidupan sekarang paling enak bagi sebagian besar masyarakat kita. Kita terus-menerus dihibur, disenangkan, dan dipuaskan. Dengan segala pertunjukan yang menawan, media yang menarik perhatian, dan pengalaman-pengalaman yang nikmat yang tersedia sekarang, mudah bagi kita untuk melupakan bahwa pengejaran kebahagiaan bukanlah tujuan kehidupan. Hanya jika kita ingat bahwa kehidupan adalah suatu ujian, suatu kepercayaan, dan suatu penugasan sementara, barulah pesona dari hal-hal tersebut kehilangan kekuasaannya atas kehidupan kita. Kita sedang bersiap-siap untuk menghadapi sesuatu yang lebih baik. “Hal-hal yang kita lihat sekarang, hari ini ada, esok sudah lenyap. Tetapi hal-hal yang tidak dapat kita lihat sekarang akan ada selamanya” (2 Kor 4: 18b Msg).
Fakta bahwa bumi bukanlah rumah terakhir kita memperjelas mengapa, sebagai pengikut-pengikut Yesus, kita mengalami kesulitan, penderitaan dan penolakan di dunia ini (Yoh 16:33; 16:20; 15:18-19). Hal tersebut juga menjelaskan mengapa beberapa janji Allah tampaknya tidak digenapi, beberapa doa tampaknya tidak dijawab, dan beberapa keadaan tampaknya tidak adil. Ini bukanlah akhir kisah.
Untuk menjaga agar kita tidak menjadi terlalu terikat pada dunia, Allah membiarkan kita merasakan cukup banyak kesedihan dan ketidakpuasan di dalam kehidupan, yakni keinginan-keinginan yang tidak pernah akan terpenuhi di sisi ini dari kekekalan. Kita tidak benar-benar bahagia di sini karena seharusnya memang tidak! Bumi bukanlah rumah terakhir kita; kita diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih baik.
Seekor ikan tidak pernah bahagia hidup di daratan, karena ikan dijadikan untuk air. Seekor elang tidak pernah bisa merasa puas jika hewan itu tidak diperbolehkan terbang. Saudara tidak akan pernah merasa benar-benar puas di bumi, karena saudara dijadikan untuk sesuatu yang lebih dari itu. Saudara akan memiliki saat-saat bahagia di sini, tetapi tidak ada yang sebanding dengan apa yang Allah telah rencanakan bagi saudara.
Menyadari bahwa kehidupan di bumi hanyalah suatu penugasan sementara seharusnya mengubah nilai-nilai saudara secara radikal. Nilai-nilai kekal, dan bukan nilai-nilai sementara, yang seharusnya menjadi faktor-faktor penentu bagi keputusan-keputusan saudara. Seperti pandangan C.S. Lewis, “Segala hal yang tidak kekal tidak berguna secara kekal”. Alkitab berkata, Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor 4:18).
Mengira bahwa tujuan Allah bagi kehidupan saudara adalah kekayaan materi atau keberhasilan populer sebagaimana yang didefenisikan oleh dunia adalah salah besar.  Kesetiaan kepada Allah tidak menjamin ‘keberhasilan’ dalam karier atau bahkan dalam pelayanan Jangan pernah memusatkan perhatian pada mahkota-mahkota yang sementara (1 Pet 2:11).
Paulus setia, tetapi dia berakhir di penjara. Yohanes Pembabtis setia, tetapi dia dipenggal. Jutaan orang yang setia mati sebagai martir, kehilangan segalanya, atau mencapai ajal tanpa ada hasil apapun, misalnya Munson dan Liman, missionaris yang datang ke Lobu Pining (Tanah Batak) sebelum Nomensen. Tetapi akhir kehidupan bukanlah akhirnya!.
Bagi Allah, pahlawan-pahlawan iman yang paling besar bukanlah orang-orang yang mencapai kemakmuran, keberhasilan, dan kuasa di dalam kehidupan ini, melainkan orang-orang yang memperlakukan kehidupan ini sebagai suatu penugasan sementara dan melayani dengan setia, sambil mengharapkan upah yang dijanjikan kepada mereka di kekekalan. Alkitab mengatakan tentang Ruang Kemahsyuran Allah: “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini... Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibrani 11:13,16). Masa hidup saudara di bumi bukanlah kisah lengkap kehidupan saudara. Saudara harus menanti sampai surga baru bisa melihat sisa bab-bab itu. Dibutuhkan iman untuk hidup di bumi sebagai orang asing.
Sebuah kisah lama sering diceritakan ulang mengenai seorang misionaris yang pensiun dan pulang ke Amerika sekapal dengan presiden Amerika Serikat. Kerumunan orang yang bersorak, band militer, karpet merah, bendera-bendera, dan media menyambut pulangnya presiden mereka, tetapi sang misionaris pergi diam-diam dari kapal tersebut tanpa diperhatikan. Dengan perasaan kasihan pada diri sendiri dan marah, dia mulai mengeluh kepada Allah. Kemudian Allah dengan lembut mengingatkannya, “Tetapi anak-Ku, kau belum pulang”.
Sebelum dua detik berada di surga saudara akan berseru, “Mengapa aku begitu mementingkan hal-hal yang bersifat begitu sementara? Apa yang sedang aku pikirkan? Mengapa aku menyia-nyiakan begitu banyak waktu, tenaga dan perhatian pada apa yang tidak akan bertahan untuk selamanya?”
Ketika kehidupan menjadi sulit, ketika saudara diliputi oleh keraguan, atau ketika saudara bertanya-tanya dalam hati apakah hidup bagi Kristus layak diperjuangkan, ingatlah bahwa saudara belum pulang. Saat kematian, saudara bukan meninggalkan rumah, saudara justeru pulang.

Untuk Direnungkan:
1.      Apa yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini yang sekarang aku sadari merupakan sebuah ujian dari Allah? Apakah hal-hal terbesar yang Allah percayakan kepadaku?
2.      Bagaimana fakta bahwa kehidupan di bumi hanyalah suatu penugasan sementara bisa mengubah cara hidup saya sekarang?

Sumber:
Disadur dari
Buku       :  The Purpose Driven Life
Penulis     :  Rick Warren
Hal          :  43-58
Penerbit   :  Gandum Mas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar